filename
stringlengths 16
16
| title
stringlengths 22
107
| text
stringlengths 132
2.1k
| softlabel
stringlengths 15
740
|
---|---|---|---|
2019-080-03.json | Bedah Visi Misi Lingkungan Capres dan Cawapres, Seperti Apa? | Bedah Visi Misi Lingkungan Capres dan Cawapres, Seperti Apa? | Rebekka Angelyn, Direktur Eksekutif Koaksi Indonesia mengatakan, dalam membedah visi misi dari paslon satu tak bisa lepas dari Nawacita pertama, capaian-capaian pemerintahan dan realita sektor energi secara keseluruhan, bukan hanya soal energi terbarukan.“Ada hal-hal yang dari awal 2018 ramai dibicarakan mengenai kemampuan finansial PLN dan Pertamina menahan harga bahan bakar mintak. Isu iklim investasi energi terbarukan yang tidak didukung dan hal-hal lain seperti program biodiesel,” katanya.Dia membandingkan Nawacita sebelumnya dengan saat ini. Nawacita saat ini, belum menjawab isu-isu strategis seperti, harga BBM , minyak dunia meningkat, batubara dan komitmen perubahan iklim sektor energi.“Dalam vis misi sekarang, disebut pemanfaatan energi fosil meskipun efisien. Di Nawacita sebelumnya statemen agresif, misal, strategi cerdas energi terbarukan dan menghadirkan teknologi hemat energi.”Dia bilang, soal pemanfaatan energi fosil efisien mengkhawatirkan karena energi terbarukan tak ada pernyataan apapun. Meskipun, katanya, ada hal baru muncul, misal, pengembangan energi terbarukan sesuai potensi daerah. “Menunjukkan ada ruang untuk desentralisasi penyediaan akses energi.”Menurut dia, siapapun yang terpilih, harus fokus komitmen mengakselerasi pencapaian target pemenuhan kebutuhan energi masyarakat Indonesia dengan energi terbarukan sebagai pilihan utama. Berdasarkan potensi lokal, didukung kebijakan, pendanaan, teknologi, dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia.“Khusus mengenai kebijakan pemerintah terkait bahan bakar nabati sebagai bagian energi terbarukan, ke depan harus melalui pemantauan dan evaluasi terukur dari hulu ke hilir. Jadi tidak hanya memperhatikan kepentingan ekonomi juga sosial dan lingkungan hidup,” katanya. | [0.999424159526825, 0.00028237837250344455, 0.000293476419756189] |
2019-080-03.json | Bedah Visi Misi Lingkungan Capres dan Cawapres, Seperti Apa? | Bedah Visi Misi Lingkungan Capres dan Cawapres, Seperti Apa? | Komitmen pada kebijakan pembangunan berkelanjutan, katanya, juga harus diperlihatkan dengan perbaikan tata kelola energi yang menjunjung prinsip akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi publik. Juga penegakan hukum dan transisi berkeadilan dari energi ke terbarukan.Agus Sari, Tim TKN Jokowi-Ma’ruf Amin menanggapi berbagai pandangan ini. Dia bilang, Nawacita sebelumnya dan Nawacita plus satu kesatuan, tak bisa terpisahkan. Publik, katanya, penting melihat capaian dan rekam jejak Pemerintahan Jokowi selama empat tahun terakhir.“Kalau kita lihat kok Nawacita plus satu lebih lemah? Itu karena Nawacita plus satu harus dimasukkan dulu ke dalam Nawacita sebelumnya. Kemudian dievaluasi sebagai satu dokumen terintegrasi,” katanya.Dalam semua proses politik, petahana punya keungulan karena sudah mempunyai track record. “Empat tahun belakangan ini sejauh apa sepak terjangnya? Itu juga dievaluasi sebagai bagian dari janji komitmen visi misi sebelumnya. Bagaimana track record? Itu memperlihatkan seberapa visi misi berikutnya bisa dievaluasi,” kata Agus.Soal deforestasi, katanya, publik bisa menilai sendiri rekam jejak pemerintahan sekarang. Selama Pemerintahan Jokowi, angka deforestasi turun. Padahal, Indonesia mendapatkan predikat nomor satu sebagai perusak hutan terbesar di dunia.“Kalau melihat titik api. Sejak 2015 hingga sekarang, turun lumayan besar. Pemerintah juga habis-habisan menegakkan hukum bagi pembakar hutan.”Fokus Jokowi dalam Nawacita pertama adalah soal pengentasan kemiskinan dan pemerataan. Kemudian terejawantah dalam kebijakan perhutanan sosial dan reforma agraria. Sebelum reforma agraria jalan, kata Agus, 88% pengalihan lahan untuk korporasi. Saat ini, lebih besar bagi rakyat. | [0.00033922979491762817, 0.9992603659629822, 0.0004004047659691423] |
2019-080-03.json | Bedah Visi Misi Lingkungan Capres dan Cawapres, Seperti Apa? | Bedah Visi Misi Lingkungan Capres dan Cawapres, Seperti Apa? | Agus juga mengungkap penegakan hukum lingkungan. Jokowi, katanya, menunjukkan komitmen kuat. Banyak korporasi digugat pemerintah dan diputus pengadilan dengan hukuman, sanksi dan biaya pemulihan lingkungan triliunan rupiah.“Saya belum pernah melihat penegakan hukum lingkungan sebaik sekarang. Sampai-sampai korporasi gerah dan saksi ahli dikriminalisasi. Sebegitu paniknya mereka,” katanya.Mengenai perlindungan gambut, kata Agus, komitmen Jokowi sudah jelas dengan membentuk Badan Restorasi Gambut (BRG). Konservasi lahan gambut akan lanjut.Terkait masyarakat adat, katanya, Jokowi berkomitmen memberikan perlindungan dan menjalankan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 soal hutan adat bukan hutan negara. Hal ini, katanya, sejalan dengan reforma agraria dan perhutanan sosial, hutan adat terintegrasi di dalamnya. “Ini menunjukkan komitmen lumayan bagus. Angka 12,7 juta hektar, masih akan dipertahankan.”Persoalan energi terbarukan, katanya, memang masalah kronis. Namun, katanya, Pemerintah Jokowi sudah memiliki kesadaran fosil fuel adalah industri bakal tenggelam. Pemerintah punya target capai energi terbarukan 23% pada 2025. Bagaimana visi misi Prabowo-Sandiaga? Sementara visi misi pasangan calon Prabowo-Sandiaga, ingin memperkuat komitmen tata kelola hutan dan lahan. Namun, tawaran solusi justru akan memperluas ketimpangan penguasaan lahan dan laju ekspansi perkebunan monokultur.Teguh mengatakan, meski paslon nomor dua menyatakan akan berperan aktif dalam mengatasi perubahan iklim global, namun belum menyampaikan langkah konkret. Mereka juga belum punya komitmen menyelesaikan akar persoalan perubahan iklim yaknipenggundulan hutan dan perusakan lahan gambut masif karena tata kelola hutan dan lahan Indonesia buruk. | [0.00033922979491762817, 0.9992603659629822, 0.0004004047659691423] |
2019-080-03.json | Bedah Visi Misi Lingkungan Capres dan Cawapres, Seperti Apa? | Bedah Visi Misi Lingkungan Capres dan Cawapres, Seperti Apa? | Paslon Prabowo-Sandi mengeluarkan dokumen visi misi berjudul “Empat pilar mensejahterakan Indonesia: sejahtera bersama Prabowo Sandi.” Dalam dokumen, tim pemenangan, Koalisi Indonesia Makmur memberi porsi 17,6% untuk pengelolaan lingkungan. Rinciannya, isu pengelolaan hutan berkelanjutan hanya 8,1%, ketimpangan penguasaan lahan 2%, energi terbarukan 1,4% serta penegakan hukum 6,1%.“Komitmen perlindungan gambut, mitigasi bencana, polusi industri, perkebunan sawit dan masyarakat hukum adat tak dapat tempat sama sekali,” kata Teguh.Teguh mengapresiasi niat memperbaiki lingkungan yang tercantum dalam dokumen ini yakni rehabilitasi hutan rusak, lahan kritis, dan daerah aliran sungai serta moratorium hak guna usaha juga hak guna banguna (HGB) yang habis masa berlaku.Namun, katanya, solusi justru berpotensi memperluas masalah ketimpangan penguasaan lahan dan laju ekspansi perkebunan monokultur karena komitmen merehabilitasi hutan rusak jadi hutan tanaman industri.“Ini mengindikasikan, pasangan Prabowo-Sandi belum memahami persoalan lingkungan hidup di Indonesia secara tepat dan belum punya konsep membangun tanpa merusak,” kata Teguh.Sebagai pengusaha, baik Prabowo maupun Sandi ikut menjalankan beberapa perusahaan sektor perkebunan sawit. Salah satunya, PT Tidar Kerinci Agung milik Prabowo dan PT Provident Agro milik Sandi.Namun, perbaikan tata kelola industri sawit nasional tak menjadi perhatian. Padahal, katanya, isu perkebunan sawit berkelanjutan jadi salah satu topik bahasan utama pemerintah Indonesia dan global baik dalam konteks ekonomi, petani dan lingkungan hidup.Dengan latar belakang pengusaha sawit, tetapi tak ada ketegasan kedua calon dalam agenda mereka dalam mendesak perbaikan industri ini.“Terlilitnya Prabowo-Sandi dalam pusaran bisnis sawit khawatir mengganggu indepedensi dalam menjalankan pemerintahan.” | [0.9999907612800598, 4.496447218116373e-06, 4.684098712459672e-06] |
2019-080-03.json | Bedah Visi Misi Lingkungan Capres dan Cawapres, Seperti Apa? | Bedah Visi Misi Lingkungan Capres dan Cawapres, Seperti Apa? | Isu pengelolaan hutan berkelanjutan tertuang dalam aksi pilar kedua (kesejahteraan masyarakat) dan ketiga (budaya dan lingkungan hidup). Ada 12 komitmen Prabowo-Sandi terhadap pengelolaan hutan.“Dari 12 komitmen itu ada empat isu strategis perlu digarisbawahi melihat kondisi pengelolaan hutan dan gambut Indonesia saat ini,” kata Sri Lestari, peneliti Yayasan Madani Berkelanjutan.Pertama, mengenai usulan bank tanah dengan memanfaatkan moratorium HGU dan HGB yang habis masa berlaku. Mengutip laporan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Agustus lalu tentang status hutan Indonesia 2018, disebutkan kebijakan moratorium pemberian izin baru untuk melindungi 66,4 juta hektar hutan di kawasan konservasi dan lindung. Moratorium HGU diatur Inpres No 8/2018 tentang penundaan dan evaluasi perizinan perkebunan sawit serta peningkatan produktivitas perkebunan,“Komitmen moratorium HGU dan HGB pasangan ini selayaknya menjelaskan tindakan strategis apa yang hendak dilakukan mengingat moratorium bukan hal baru lagi.”Kedua, mengenai restorasi lahan, Yayasan Madani menilai target kandidat ini dalam restorasi lahan kritis tak jelas. Pasangan ini menyoroti hutan rusak restorasi menjadi hutan alam, HTI, dan hutan tanaman pangan serta melestarikan alam dan satwa liar.“Merehabilitasi hutan rusak dengan membangun HTI bukan restorasi melainkan memperlebar ketimpangan penguasaan lahan dan meningkatkan kerusakan lahan.”Data 2013, luas lahan kritis di Indonesia mencapai 24,3 juta hektar, tak termasuk Jakarta. Ia meliputi 15,5% juta hektar lahan kritis dalam kawasan hutan. KLHK menanam 100.000 hektar dari 10 juta hektar target lahan rusak. “Ini saja masih jauh memadai untuk menutup kawasan hutan dan hutan konservasi yang terlanjur rusak.”Jadi, katanya, komitmen pasangan ini dinilai tak sepenuhnya cocok dalam mempersempit ketimpangan lahan dan menyelesaikan restorasi lahan. | [0.9656471014022827, 0.017137303948402405, 0.017215635627508163] |
2019-080-03.json | Bedah Visi Misi Lingkungan Capres dan Cawapres, Seperti Apa? | Bedah Visi Misi Lingkungan Capres dan Cawapres, Seperti Apa? | Terkait perubahan iklim, tindakan aktif mengatasi perubahan iklim harusnya sudah disadari Prabowo sejak 2014. Tak ada terminologi baru dalam dokumen visi misi yang baru. Belum ada langkah konkret untuk mengatasi perubahan iklim. Penguasaan lahan dan tak singgung masyarakat adatAda tiga komitmen pasangan ini dalam isi ketimpangan penguasaan lahan dan konflik, yakni dengan reforma agraria, industrialisasi petani di pedesaan dan pembangunan berkualitas untuk mengurangi kemiskinan dan ketimpangan sosial ekonomi.Yang menjadi catatan, pasangan ini hanya menekankan reforma agraria sebagai jalan meningkatkan kesejahteraan rakyat dan mendukung peningkatan produktivitas kerja sektor perkebunan dan kehutanan.Tak ada penegasan kalau reforma agraria juga bisa menyelesaikan masalah ketimpangan penguasaan lahan, mendorong keadilan sosial dan penyelesaian konflik tenurial.“Pasangan Prabowo-Sandi, tidak sama sekali memberikan perhatian pada upaya penyelesaian konflik tenurial. Bagi pasangan ini konflik tenurial hanya dilihat dari sisi isu politik pertahanan negara seperti separatisme dan pengamanan daerah perbatasan.”Pasangan ini ada sembilan komitmen penegakan hukum di sektor sumber daya alam. Kalau pasangan ini punya komitmen dan keberanian menindak kejahatan korporasi dan pecegahan korupsi di sektor sumber daya alam akan menjadi nilai tambah.Sisi lain, pasangan ini sama sekali tak menyebutkan mengenai keterbukaan informasi. Padahal, mereka menyebut manajemen birokrasi terbuka dan akuntabel untuk memcegah korupsi.Soelthan Nanggara, Direktur Eksekutif Forest Watch Indonesia, mengatakan, praktik korupsi sumber daya alam terkait erat dengan keterbukaan informasi publik minim.“Perbaikan tata kelola sumber daya alam mesti dimulai dengan membuka akses informasi kepada publik,” kata Soelthan. | [0.9999998807907104, 4.642326345560832e-08, 5.286939597226592e-08] |
2019-080-03.json | Bedah Visi Misi Lingkungan Capres dan Cawapres, Seperti Apa? | Bedah Visi Misi Lingkungan Capres dan Cawapres, Seperti Apa? | Dalam pengelolaan sumber daya alam, katanya, publik tak hanya perlu keterbukaan soal sistem perizinan juga monitoring dan evaluasi. Keterbukaan, katanya, harus menyeluruh tak hanya informasi juga akses dokumen berikut peta.Pengalaman FWI, misal, meminta dokumen HGU perkebunan sawit se-Kalimantan yang masih berlaku sampai 2016 menyita waktu lama. Permohonan informasi ke Kementerian ATR/BPN hingga sengketa di Komisi Informasi Publik menghabiskan waktu 11 bulan dari 16 September 2015 hingga 22 Juli 2016.Pada 9 Agustus-23 Desember 2016, FWI banding di PTUN hingga menang di tingkat kasasi Mahakamah Agung. Proses kasasi selama empat bulan (23 Desember 2016-6 Maret 2017). Meski akhirnya MA menyatakan dokumen terbuka untuk publik hingga kini dokumen masih sulit diakses.“Yang terpenting bukan aturan atau kebijakan keterbukaan, melainkan bagaimana badan publik mengimplementasikan keterbukaan atas data dan informasi itu kepada publik,” katanya. Dia menyayangkan, pasangan ini sama sekali tak menyinggung pengaturan dan perlindungan masyarakat adat dalam kehidupan bernegara.“Tentu saja ini pertanyaan besar bagi kita semua. Keberadaan masyarakat hukum adat salah satu elemen penting mencapai keberhasilan reforma agraria.”Penggunaan energi terbarukan dalam visi misi ini adalah dari bahan bakar nabati. Kandidat ini ingin Indonesia jadi negara adi kuasa energi dengan pemanfaatan 88 juta hektar hutan rusak untuk aren, ubi kyu, ubi jalar, sagu, sorgum kelapa dan bahan baku bioethanol lain. Tak diketahui dari mana angka 66 juta hektar ini didapatkan.Pasangan ini dinilai tidak mempertimbangkan faktor risiko pelepasan emisi dari proses perubahan lahan dan kehutanan skala besar untuk kebutuhan pangan sekaligus bahan bakar nabati. | [0.00033922979491762817, 0.9992603659629822, 0.0004004047659691423] |
2019-080-03.json | Bedah Visi Misi Lingkungan Capres dan Cawapres, Seperti Apa? | Bedah Visi Misi Lingkungan Capres dan Cawapres, Seperti Apa? | Kecuali pengembangan biofuel generasi ketiga yang bersumber dari limbah, residu pertanian, tanaman non pangan dan ganggang. Area untuk lahan ini juga tak jelas dan berpotensi memunculkan konflik tenurial baru dan palanggaran hak asasi manusia.Nuly Nazlia, Direktur Finansial dan Operasional Koaksi Indonesia, mengatakan, presiden dan wakil presiden terpilih harus fokus dan komit pada pencapaian target pemenuhan energi dengan sumber terbarukan dan pemanfaatan energi efisien sebagai pilhan pertama perencanaan ketenagalistrikan Indonesia.“Berdasarkan potensi lokal didukung kebijakan pendanaan, teknologi dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia,” katanya.Khusus mengenai kebijakan terkait bahan bakar nabati sebagai bagian energi terbarukan, katanya, harus melalui pemantauan dan evaluasi terukur dari hulu ke hilir. Jadi, kebijakan ini tak hanya memperhatikan kepentingan ekonomi juga sosial dan lingkungan hidup.Nuly mengatakan, komitmen pada kebijakan yang mendukung pembangunan berkelanjutan harus diperlihatkan dengan perbaikan tata kelola energi yang menjunjung tinggi akuntabilitas, tranparansi dan partisipasi publik.“Transisi keadilan dari energi fosil ke energi terbarukan yang menekankan pada upaya pemulihan menyeluruh.”Untuk itu, Yayasan Madani Berkelanjutan, FWI dan Koaksi meminta kedua kandidat mempertegas komitmen pengelolaan lingkungan hidup dengan tak merehabilitasi lahan dengan membangun HTI dan komit menghentikan laju ekspansi perkebunan monokultur skala besar.Selain itu, mereka juga harus mempertegas komitmen dan bekerja keras mencapai target Nationally Determined Contributions (NDCs) serta peralihan energi fosil menuju energi terbarukan tak berbasis lahan. Juga memastikan transfer teknologi kepada masyarakat untuk menggunakan energi terbarukan mandiri. | [0.9656471014022827, 0.017137303948402405, 0.017215635627508163] |
2019-080-03.json | Bedah Visi Misi Lingkungan Capres dan Cawapres, Seperti Apa? | Bedah Visi Misi Lingkungan Capres dan Cawapres, Seperti Apa? | Sementara Khalisah Khalid, Kepala Departemen Kampanye dan Perluasan Jaringan Walhi Nasional menilai, pada masa kampanye pilpres 2019, para politisi minim membawa isu lingkungan ke ruang publik. Dia contohkan, isu perubahan iklim, sebenarnya sangat politis dan harus jadi perhatian calon presiden dan wakil.”Sejauh ini belum ada usaha lebih dari kedua pasang calon, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno dan Joko Widodo-Ma’aruf Amin, membahas dan jadikan isu lingkungan ini sebagai arus utama,” katanya.Meski demikian, isu ini tertulis dalam dokumen visi-misi mereka sebagai kandidat capres dan cawapres, seperti visi misi Jokowi-Ma’ruf, “mencapai lingkungan hidup berkelanjutan,”sementara Prabowo-Sandiaga, “membangun perekonomian nasional yang adil, makmur, berkualitas, dan berwawasan lingkungan.”“Sayangnya isi dokumen ini tidak pernah disuarakan di ruang publik,” katanya.Dia bilang, para capres-cawapres penting berbicara mengenai lingkungan hidup. Terlebih hingga kini, pencapaian target penurunan emisi tingkat nasional tak terakselerasi di tingkat daerah. ”Banyak kendala, kami melihat ego sektoral dan rezim birokrasi yang menghambat,” katanya.Selain itu, belum menjadi kesepahaman bersama kalau penurunan emisi ini jadi komitmen Indonesia. Seharusnya, kata Alin, panggilan akrabnya, soal penurunan emisi jadi satu paket, tak hanya pemerintah pusat, juga pemerintah daerah.Dia bilang, perubahan iklim tak sebatas udara yang makin panas dan mengurangi penggunaan penyejuk ruangan dengan suhu lebih rendah atau mematikannya. Lebih dari itu, katanya, perubahan iklim berbicara soal keselamatan manusia di bumi, terutama yang hidup di pulau-pulau kecil.”Penting isu perubahan iklim jadi isu utama, bukan hanya pelengkap dari isu lingkungan. Itu harus sungguh-sungguh dibahas capres dan cawapres.” | [0.999424159526825, 0.00028237837250344455, 0.000293476419756189] |
2019-080-03.json | Bedah Visi Misi Lingkungan Capres dan Cawapres, Seperti Apa? | Bedah Visi Misi Lingkungan Capres dan Cawapres, Seperti Apa? | Dengan mempertimbangkan isu lingkungan ini, sudah siap dengan pilihan calon presiden dan wakil, April mendatang? Kontribusi tulisan juga dari Lusia Arumingtyas Keterangan foto utama: Hutan alam yang beralih fungsi menjadi kebun sawit. Perlu komitmen kuat dari para capres dan cawapres melindungi hutan dan menjalankan sawit patuh lingkungan dan HAM. Foto: Junaidi Hanafiah/ Mongabay Indonesia [SEP] | [0.01809711940586567, 0.9629115462303162, 0.01899130828678608] |
2016-024-11.json | Kala Larangan Bakar Lahan Pukul Rata, Tradisi Masyarakat Adat Terancam | Kala Larangan Bakar Lahan Pukul Rata, Tradisi Masyarakat Adat Terancam | [CLS] Gema alat musik tradisional berirama memulai rintai pengawa bumai betaun. Inilah siklus berladang menurut masyarakat Dayak Suku Iban, Sungai Utik, Kalimantan Barat.Luas wilayah mereka sekitar 9.000 hektar terbagi dalam beberapa bagian. Ada hutan lindung, hutan cadangan air, dan hutan produksi atau biasa untuk berladang.”Tanah to indae kitae,” kata Florentius Rengga, masyarakat adat Sei Utik, di Jakarta (27/6/16).Kata-kata itu bermakna, tanah adalah ibu kita. Ia memberikan makan sehari-hari. “Tanpa tanah, tak ada hidup bagi masyarakat adat Sei Utik.”Pemanfaatan lahan, katanya, tak boleh dengan serakah. Bumi bisa marah. “Harus disesuaikan dengan kebutuhan kita,” katanya.Dengan ada larangan membakar lahan—padahal tradisi ini sudah berlangsung turun menurun, ratusan tahun—menjadi kerisauan masyarakat adat.Bakar bukan sembarang bakar. Masyarakat adat punya aturan dari tradisi ini. Ada ngesunsur aie, merupakan aktivitas membersihkan segala hama penyakit yang akan merugikan ladang.”Awalnya kami pergi ke hulu ladang ini,” kata Florensius.Penyembuhan tanah ini sebelum nyintu tanah. Sekitar 5-10 orang berkumpul upacara acara adat dengan sesajian makanan. ”Juga membuat kayu burung nendak atau kurai.”Aktivitas ini bagian memohon restu petara tanah atau leluhur, agar panen lebih berhasil dari tahun sebelumnya. Biasa luasan kurang dua hektar.Salah satu sajian mengunakan hati babi. Jika empedu membesar, artinya tahun ini hasil ladang akan lebih banyak, begitu sebaliknya.Selanjutnya, manggul jalai. Ia memberikan tanda kepada leluhur soal tempat berladang. ”Hari pertama jalan di hulu, hari kedua baru ke hilir,” katanya.Lalu, mereka akan melihat tempat yang akan jadi ladang, dinamakan neggah ambo. Kepastian tempat itu secara adat melalui nganjung batu panggul. Nantinya, ada batu untuk memasak dan parang, buat tebasan pertama.”Itu selama tiga hari, penebasan hari pertama, kedua, ketiga.” | [0.9656471014022827, 0.017137303948402405, 0.017215635627508163] |
2016-024-11.json | Kala Larangan Bakar Lahan Pukul Rata, Tradisi Masyarakat Adat Terancam | Kala Larangan Bakar Lahan Pukul Rata, Tradisi Masyarakat Adat Terancam | Hari berikutnya, penebasan setengah hari dengan luasan sesuai keperluan. Biasa, hanya puluhan meter persegi. Lahan didiamkan selama seminggu hingga dua minggu sampai rumput tumbuh kembali. Sampai penebangan kayu di wilayah itu, katanya, saat memasuki masa menebas.Kemudian ngerangkae kareba, yakni, pengeringan ladang dengan menaruh ranting dan batang di atas ladang. Biasa sampai sebulan hingga warga memanfaatkan waktu itu dengan mencari pencarian lain dulu.Sebelum pembakaran, masyarakan akan membatasi ladang dengan membuat sekat. Tujuannya, agar api tak merembet ke tempat lain. Nunu atau membakar setelah pohon dan rantai kering.”Itu dijagain, kita pun menentukan arah angin dan meminta restu terlebih dahulu dengan leluhur,” katanya.Penentuan arah angin ini, katanya, agar api tak membakar lahan lain. Setelah membakar, pemilik tak boleh pergi ke ladang selama satu hari kecuali keadaan mendesak.”Misal api ternyata merembet, kami juga harus turut bertanggung jawab dan menjaga.”Selesai proses itu, acara adat dilanjutkan dengan pemberian sesajian, terakhir menanam dengan komoditas padi dan ketela sebagai unggulan. Juga jagung, mentimun, peringgi, labo, kacang panjang, sayuran dan terung.Berdasarkan kepercayaan, ada tiga padi di Sungai Utik, yakni padi pon, pulut dan padi mudah. Pulut (ketan) atau padi tertua kepercayaan nenek moyang.Dalam kepercayaan masyarakat, padi pon, katanya, dalam ritual jampi-jampi, bisa menjadi binatang berbisa. Padi ini, harus ditanam bersamaan tanaman lain, seperti menyuburkan tanah, mengusir hama, dan lain-lain.Setelah menanam, ada beberapa kegiatan terlarang dilakukan, seperti, menenun, dan menganyam gelang. Saat inilah, berdoa kepada leluhur meminta padi agar tumbuh subur. | [0.999424159526825, 0.00028237837250344455, 0.000293476419756189] |
2016-024-11.json | Kala Larangan Bakar Lahan Pukul Rata, Tradisi Masyarakat Adat Terancam | Kala Larangan Bakar Lahan Pukul Rata, Tradisi Masyarakat Adat Terancam | Masyarakat terus penjagaan dan mengusir hama dan kegiatan lain. Aktivitas-aktivitas itu, seperti mantun (membersihkan rumput), dan nyumba’ (mengambil padi baru akhir tahun). Lalu, nganjung tikai (mengambil tangkai pertama dari padi pon), ngetau (memilih benih padi), berangkut (membawa padi ke rumah), nungkuk (membersihkan butir padi dari tangkai dengan diinjak).Ada ngerekai (menjemur padi), besimpan (menyimpan dalam lumbung padi), gawai nganek batu (membersihkan atau memberi makan batu, parang panggul, kapak, dengan cara adat) dan gawai taun atau pesta panen.Modernisasi sempat memasuki wilayah ini, mengganti tradisi nungkuk pakai alat pertanian tetapi tak sukses. ”Sempat saat nungkuk menggunakan mesin. Lalu bermimpi anak padi menangis tangan patah, jadi tak dilanjutkan,” katanya.Kebakaran hutan dan lahan melanda Indonesia, pada 2015. Selain kebakaran luas di konsesi perusahaan, lahan-lahan wargapun terbakar.Suara-suara desakan menghapus aturan yang membolehkan warga buka lahan sampai dua hektar, muncul.Awal 2016, Presiden Joko Widodo memerintahkan larangan masyarakat membakar lahan. Jika pejabat daerah tak tegas, akan dipecat. Pesan ini membuat geger masyarakat adat yang sudah turun menurun menjalankan tradisi. Mereka terintimidasi aparat keamanan yang berjaga-jaga.”Jika kami tak boleh berladang dengan membakar, orang kota tak bolehlah naik mobil, pakai barang-barang yang menimbulkan emisi,” kata Vernadius Muling, masyarakat adat Sei Utik, Kalbar, kala bertemu di Jakarta.Pemerintah, katanya, tak memberikan solusi malahan mengirimkan tentara ke desa-desa. Masyarakat yang hendak berladang ketakutan. Padahal, berladang salah satu siklus kehidupan masyarakat adat.Padahal, katanya, berladang masyarakat adat tak membahayakan lingkungan jika dibandingkan korporasi yang membakar lahan.Berladang masyarakat adatpun, memiliki aturan dan tradisi turun-temurun. Jika melanggar, akan ada sanksi adat. | [0.9992979764938354, 0.00035951982135884464, 0.00034251681063324213] |
2016-024-11.json | Kala Larangan Bakar Lahan Pukul Rata, Tradisi Masyarakat Adat Terancam | Kala Larangan Bakar Lahan Pukul Rata, Tradisi Masyarakat Adat Terancam | ”Berladang benteng terakhir pertahanan budaya, pemerintah memiliki kewajiban melindungi mereka dan melindungi segala tradisi,” kata Mina Susanta Setra, Deputi Satu Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).Sejak awal 2016, banyak ancaman kriminalisasi mayarakat adat. Kondisi ini, berdampak ke berbagai aspek kehidupan, dari sosial, ekonomi dan budaya. ”Potensi ancaman kelaparan sangat besar, apalagi masyarakat tak berladang karena takut ditangkap aparat,” katanya.Perlakuan ini, kata Mina, bisa menimbulkan konflik, tradisi dan banyak tanaman bibit lokal hilang. ”Seharusnya pemerintah mampu merespon dan duduk bersama. Bukan malah mengirim TNI.”Masyarakat adat, katanya, membuka ladang tak sembarangan, ada dasar musyawarah adatnya.Membuka ladang dua hektar ini, katanya, ada dalam UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasal 69 ayat 2 menjelaskan soal pembukaan lahan dengan membakar boleh memperhatikan kearifan lokal daerah masing-masing.”Pemahaman aparat perlu ditingkatkan mengenai ini. Mengapa masyarakat ditangkap, korporasi dibiarkan? Jika kriminalisasi terus dilakukan, aparat jelas melanggar hukum,” kata Tommy Indriati, Perhimpunan Pembela MA Nasional (PPMAN).Kearifan lokal, katanya, bukanlah tata cara hanya juga spiritualitas hubungan masyarakat adat dengan leluhur, alam dan sekitar.AMAN dan PPMAN mendesak, ada legal standing terkait keberadaan masyarakat adat.”Sejauh ini, tak ada yang sampai ditangkap, namun masyarakat ketakutan. Kalau tak ada yang berladang, bagaimana kehidupan sehari-harinya?” ucap Maling. [SEP] | [0.9992979764938354, 0.00035951982135884464, 0.00034251681063324213] |
2017-006-19.json | Andingingi, Ritual Kajang Mendinginkan Bumi | Andingingi, Ritual Kajang Mendinginkan Bumi | [CLS] Di sebuah hamparan rerumputan di tengah hutan yang dinamakan Je’ne Berang, ratusan orang berpakaian hitam berkumpul, duduk bersila, lelaki dan perempuan, orang dewasa dan anak-anak. Sebuah pohon beringin besar berdiri tegak di sekitar tempat itu. Di bawahnya dipenuhi sesajian makanan yang telah didoakan.Kumpulan orang-orang itu adalah warga dari Komunitas Ammatoa Kajang di Kabupaten Bulukumba Sulawesi Selatan yang tengah merayakan ritual yang disebut Andingingi. Sebuah ritual ruwat bumi yang dilaksanakan tiap tahun. Tahun ini jatuh pada tanggal 6 November 2017.Andingingi adalah sebuah prosesi yang sakral di mana banyak laku yang harus dilakukan sebelum pelaksanaannya. Semua orang yang datang ke lokasi acara diwajibkan berpakaian hitam dan harus melepas alas kaki. Peserta ritual juga dilarang meludah sembarang tempat, tidak berbicara dan bergerak yang banyak, yang bisa mengalihkan perhatian pemangku adat yang sedang menyelenggarakan ritual. Pengambilan gambar untuk foto dan video hanya diperkenankan setelah pelaksanaan ritual inti.Sebagian besar pemangku adat Kajang yang berjumlah 26 orang hadir dalam ritual, kecuali Ammatoa. Turut hadir Bupati Bulukumba, Andi M Sukri Sappewali dan sejumlah pejabat dari kabupaten dan provinsi Sulawesi Selatan. Hadir pula sekitar 100-an fotografer dari berbagai daerah di Sulawesi sebagai undangan khusus.Pelaksanaan andingingi tahun ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Jika selama ini dilaksanakan dalam kawasan yag disebut rambang seppang, di salah satu bagian hutan yang disakralkan, maka tahun ini dilaksanakan di luar kawasan, meski masih tetap termasuk dalam bagian kawasan hutan Kajang.“Kita memang meminta agar ritual ini dilakukan di luar kawasan rambang seppang agar bisa diikuti dan didokumentasikan oleh pihak luar. Ini bagian dari promosi budaya Ammmatoa Kajang,” ungkap Andi Buyung Saputra, Camat Kajang, yang dalam struktur adat Kajang menjabat sebagai labbiria. | [0.0002839576918631792, 0.980250358581543, 0.019465679302811623] |
2017-006-19.json | Andingingi, Ritual Kajang Mendinginkan Bumi | Andingingi, Ritual Kajang Mendinginkan Bumi | Sebelum pelaksanaan andingingi ini, malam sebelumnya telah dilakukan ritual yang disebut appalenteng ere’ sebagai ritual persiapan andingingi. Ritual ini dipimpin langsung oleh Ammatoa. Lokasinya sama dengan lokasi pelaksanaan ritual andingingi. Selama acara berlangsung tidak diperkenankan untuk mengambil gambar foto dan video. Penerangan pun hanya menggunakan obor.Menurut Andi Buyung, ritual appalenteng ere’ ini sebenarnya merupakan acara inti dari pelaksanaan andingingi, karena dipimpin langsung oleh Ammatoa yang melakukan pemberkatan. Semua bahan-bahan atau kelengkapan ritual andingingi disiapkan pada ritual ini.Buyung menggambarkan kehidmatan acara ini bisa dilihat dari kondisi langit yang cerah dan suasana yang tiba-tiba terasa damai dan menenangkan.“Biasanya setelah pelaksanaan andingingi ini akan disertai dengan hujan deras, cuma untuk saat ini kita minta agar tak ada hujan karena adanya atraksi ritual attunu panroli dan tarian pabitte passapu setelahnya,” tambahnya.Ramlah, Kepala Dusun Benteng, Desa Tana toa, yang juga merupakan salah satu putri Ammatoa menjelaskan bahwa andingingi bagi masyarakat kajang semacam ritual ruwat bumi dan kehidupan, di mana dalam ritual ini dipanjatkan doa-doa agar dalam setahun ke depan senantiasa diberikan keselamatan dan kesehatan dari Tu Rie’ Ara’na atau Tuhan yang Maha Kuasa.“Tujuan dari ritual ini adalah meminta kepada Tu Rie’ Ara’na agar dimudahkan rezeki, dipanjangkan umur dan senantiasa diberikan kedamaian dan dijauhkan dari mara bahaya,” ujarnya. | [0.0002839576918631792, 0.980250358581543, 0.019465679302811623] |
2017-006-19.json | Andingingi, Ritual Kajang Mendinginkan Bumi | Andingingi, Ritual Kajang Mendinginkan Bumi | Ritual andingingi ini dimulai dengan pembacaan doa dari perwakilan adat. Setelah itu dua orang mengitari tempat kegiatan sambil memerciki peserta dengan air yang telah diberkati menggunakan tangkai buah pinang dan sejumlah dedaunan yang diikat jadi satu, yang disebut pabbe’bese. Sejumlah orang terlihat sengaja menengadahlan wajahnya agar terperciki air tersebut. Setelahnya, beberapa orang memoleskan bacca ke jidat dan leher peserta ritual. Bacca ini adalah sejenis bedak cair yang terbuat dari tepung beras dicampur kunyit.Di akhir acara disajikan makanan berupa nasi dan daging kerbau menggunakan piring yang terbuat dari daun lontar yang disebut tide. Ada juga sayuran yang disajikan menggunakan wadah yang terbuat dari tempurung kelapa.Sebagai bagian dari ritual ini, sekitar 50 meter dari lokasi andingingi dilakukan atraksi ritual attunu panroli atau membakar linggis hingga merah karena panas.Ritual ini dimulai dengan pengumpulan ranting pohon dan dedaunan, yang kemudian dibakar hingga apinya membesar. Setelah apinya dirasa cukup, linggis pun dipanaskan di tumpukan dedaunan terbakar tersebut hingga warnanya memerah.Salah seorang pemangku adat yang bernama Puto Gassing kemudian mengambil linggis panas tersebut dengan tangan tanpa pelapis. Untuk membuktikan bahwa linggis itu benar-benar panas maka sejumput daun diletakkan di atas linggis yang segera terbakar. Berkali-kali ia mengusap-usapkan telapak kakinya ke linggis tersebut dari atas ke bawah, dan ia tak terluka sedikit pun. | [0.0002839576918631792, 0.980250358581543, 0.019465679302811623] |
2017-006-19.json | Andingingi, Ritual Kajang Mendinginkan Bumi | Andingingi, Ritual Kajang Mendinginkan Bumi | Attunu panroli ini adalah salah satu mekanisme penyelesaian perkara di Kajang jika terjadi keraguan siapa pelaku dari pelanggaran tersebut. Kepada pihak berperkara disuruh memegang linggis panas tersebut. Jika tangannya melepuh ketika memegang linggis itu, maka dialah pelakunya. Sedangkan bagi yang bukan pelaku, tidak akan merasakan panasnya linggis tersebut. Meski pada umumnya pelaku tidak mau mengikuti upacara tersebut, sehingga kadang dilanjutkan dengan ritual attunu Passau, yang tingkatannya lebih tinggi.Setelah atraksi attunu panrili tersebut dilanjutkan dengan pementasan tarian pabitte passapu, yang merupakan tarian penyambutan dalam tradisi Kajang. Dalam tarian ini digambarkan terjadinya sabung ayam dengan menggunakan passapu atau kain penutup kepala bagi orang Kajang. Di lokasi yang sama juga terdapat pertunjukan tenun dari perempuan Kajang.Menurut Buyung, pelaksanaan andingingi yang dilaksanakan secara terbuka dan bisa diikuti oleh orang luar Kajang ini adalah bagian dari upaya mengenalkan tradisi Kajang secara lebih luas dan bisa menjadi objek wisata budaya di masa yang akan datang.“Kita berharap ini bisa memberi income bagi masyarakat Kajang, meski tetap hati-hati juga karena banyaknya pantangan-pantangan yang harus dipenuhi bagi pendatang.”Di tahun-tahun mendatang Buyung bahkan berharap ada acara khusus tahunan berupa Festival Kajang, yang bisa mengenalkan lebih luas berbagai kekayaan budaya yang ada di dalam masyarakat Kajang.Komunitas adat Kajang hingga saat ini masih sangat ketat dalam menjaga tradisi, termasuk dalam kaitannya dengan menjaga hutan. Kawasan hutan yang disakralkan tak boleh sama sekali dimanfaatkan kecuali sebagai tempat pelaksanaan ritual. Dalam kawasan rambang seppang berlaku banyak larangan-larangan, misalnya tak boleh menggunakan peralatan modern dan tak bisa menggunakan alas kaki ketika berada dalam kawasan yang terdiri dari 8 dusun ini. | [0.9656471014022827, 0.017137303948402405, 0.017215635627508163] |
2017-006-19.json | Andingingi, Ritual Kajang Mendinginkan Bumi | Andingingi, Ritual Kajang Mendinginkan Bumi | Andingingi sendiri memiliki beberapa macam bentuk, antara lain andingingi kampong (kampung), andingingi borong (hutan) dan andingingi bola (rumah). Tujuannya sama, yang berbeda hanya pada skalanya.Komunitas adat Kajang di Tana Toa dipimpin oleh seorang disebut Ammatoa yang sangat dipatuhi oleh warganya. Ammatoa ini memegang tampuk kepemimpinan di Tana Toa sepanjang hidupnya terhitung sejak dia dinobatkan hingga meninggal. Proses pemilihan Ammatoa tidak gampang dan bukan suatu hal yang dicita-citakan karena proses pemlihannya bukan melalui pemilihan warga tetapi ditunjuk langsung oleh Tu Rie’ A’ra’na melalui serangkaian ritual yang rumit. [SEP] | [0.0002839576918631792, 0.980250358581543, 0.019465679302811623] |
2017-056-16.json | Menuju Restorasi Gambut di Kalimantan Barat, Begini Kondisinya (Bagian 2) | Menuju Restorasi Gambut di Kalimantan Barat, Begini Kondisinya (Bagian 2) | [CLS] Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat bertekad menyusun perencanan pertumbuhan ekonomi hijau (green growth plan), terkait restorasi gambut dan pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan.Sejak Februari 2017, Pemprov Kalbar bahkan telah kick off melalui workshop yang dihadiri perwakilan Duta Besar Norwegia, perwakilan Badan Restorasi Gambut, pimpinan IDH Sustainable Trade, lembaga legislatif, Forkopimda Kalbar, beberapa kepala daerah, akademisi, pelaku usaha dan organisasi sipil kemasyarakatan.“Pemerintah Kalimantan Barat memiliki komitmen kuat menjaga lingkungan, karena itu dukungan penuh terbentuknya Badan Restorasi Gambut diberikan,” ujar Wakil Gubernur Kalimantan Barat Christiandy Sanjaya. Dia mengatakan, pihak swasta semestinya ikut dilibatkan untuk merestorasi gambut. “Keterlibatan pihak swasta (perusahaan) bisa dengan memanfaatkan CSR maupun kewajiban perusahaan menjaga lahan gambut.” Baca: Target Restorasi Gambut di Kalimantan Barat, Seperti Apa? (Bagian 1) Christiandy mengharapkan, pelaku usaha berkomitmen menjalankan undang-undang, sehingga kebakaran lahan di Kalimantan Barat, yang menimbulkan bencana kabut asap, tidak perlu terulang. “Saya ada fotonya, terlihat api itu sudah masuk ke areal pepohonan. Kalau itu dilakukan perusahaan sawit maka tidak ada tempat di Kalbar, pesan Gubernur,” katanya. Sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat, dia mengingatkan, agar kepala daerah tidak memberikan izin di atas lahan gambut.Khusus lahan gambut yang di atasnya telah menjadi lahan budidaya pertanian, Christiandy menyatakan, manajemen pengelolaan lahan sangat penting dilakukan. Petani juga harus komit menjaga lahan gambut tersebut, agar tidak hilang fungsinya. “Komoditi pertanian yang cocok di lahan gambut ini seperti aloevera, nanas, dan jagung,” katanya. | [0.9656471014022827, 0.017137303948402405, 0.017215635627508163] |
2017-056-16.json | Menuju Restorasi Gambut di Kalimantan Barat, Begini Kondisinya (Bagian 2) | Menuju Restorasi Gambut di Kalimantan Barat, Begini Kondisinya (Bagian 2) | Deputi 1 Badan Restorasi Gambut (BRG), Budi Wardana, memberikan apresiasi terhadap kebijakan ini. Dia mengatakan pembangunan hijau ramah lingkungan berbasis komoditas merupakan langkah nyata daerah. Tujuannya, mewujudkan keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan sosial, dan kelestarian lingkungan.“Ini sangat penting karena dari 17 juta hektare lebih kawasan di Kalbar, sekitar 10 persennya berupa gambut,” katanya, di Pontianak. Pertumbuhan ekonomi hijau, harus didorong dengan pertumbuhan berkeadilan, dengan memerhatikan pertumbuhan ekonomi lokal berkelanjutan.Ekonomi lokal berkelanjutan tersebut dapat meningkatkan ketahanan sosial, mengurangi emisi gas rumah kaca, keseimbangan ekosistem bahkan dapat menyediakan jasa lingkungan. Untuk itu, Budi menekankan agar pemerintah Kalbar terus memperjuangkan penetapan 30 persen kawasan lindung dan pengelolaan sumber daya yang efektif. Terutama, pada kawasan yang mempunyai hutan lindung.Budi mengatakan, orientasi pembangunan yang ekspansif di kawasan gambut telah menciptakan kondisi 57 persen lahan gambut di Indonesia rusak. Ini disebabkan aktivitas pembuatan saluran kanal dan tata cara pembukaan lahan melalui cara bakar. Di Kalbar, lahan seluas 120 ribu hektare merupakan target pemulihan gambut yang mengalami degradasi.“Lebih 50 persen gambut yang akan di restorasi (64 ribu hektare) berada di lahan konsesi. Sementara 38 ribu hektare di HTI dan HPH, sedangkan 36 ribu di perkebunan sawit dan lahan masyarakat.” | [0.000254815851803869, 0.01976369507610798, 0.979981541633606] |
2017-056-16.json | Menuju Restorasi Gambut di Kalimantan Barat, Begini Kondisinya (Bagian 2) | Menuju Restorasi Gambut di Kalimantan Barat, Begini Kondisinya (Bagian 2) | Intervensi yang dilakukan BRG; di areal konsesi dalam kawasan lindung, akibat perluasan Rencana Tata Ruang Wilayah, disesuaikan sebagai fungsi lindung. Untuk areal kawasan lindung tidak berizin, dilakukan penertiban dan dikembalikan fungsi lindungnya. Untuk kawasan konservasi, dilakukan KLHK, sedangkan kawasan lindung oleh pemerintah provinsi. Areal konsesi dalam kawasan budidaya, restorasi akan dilakukan oleh pemegang konsesi. “Kegiatan fisik yang dilakukan meliputi; rewetting, canal blocking, penanaman kembali, dan pemasangan monitor pembasahan,” tambahnya. Mutlak dilakukanHermawansyah, Direktur Swandiri Institute, memandang restorasi gambut sebagai hal yang mutlak dilakukan. Setelah direstorasi, lahan gambut memerlukan waktu agar kembali ke fungsi asalnya. Sehingga, moratorium izin di lahan gambut tidak perlu dicabut. “Memang aturan sebelumnya membolehkan sawit ditanam di kawasan gambut dengan batasan-batasan tertentu. Tapi, setelah kebakaran besar 2015, dan (kebakaran lahan) ditemukan banyak di konsesi sawit, keluarlah kebijakan moratorium untuk direstorasi yang dikoordinasikan oleh BRG,” ujar Wawan, sapaannya.Tahun 2015, pengeringan rawa gambut yang dilakukan oleh perusahaan kelapa sawit dan bubur kertas, disinyalir merupakan penyumbang besar kerusakan hutan tropis di Indonesia serta emisi gas rumah kaca. Konversi lahan gambut, menyebabkan fungsinya sebagai penampung air hilang. Gambut seperti ampas kering yang mudah terbakar. Tahun itu pula, ditemukan indikasi pembakaran lahan untuk pembukaan dan pembersihan lahan.Perusahaan sebenarnya tak perlu risau, karena pemerintah memberikan kesempatan satu masa tanam untuk tanaman yang ada di atas lahan gambut. “Namun, yang dibutuhkan adalah ketegasan pemerintah. Sanksi dan penegakan hukum itu ranahnya KLHK, bukan BRG. Jika perusahaan tidak serius, izin konsesinya harus dicabut,” kata Wawan. | [0.9994583129882812, 0.00028047917294315994, 0.0002612548996694386] |
2017-056-16.json | Menuju Restorasi Gambut di Kalimantan Barat, Begini Kondisinya (Bagian 2) | Menuju Restorasi Gambut di Kalimantan Barat, Begini Kondisinya (Bagian 2) | Negara tidak boleh kalah dengan kepentingan investor. Disitulah pentingnya agenda Korsup SDA KPK, khususnya sawit. Jika ada pelanggaran hukum, harus diproses sesuai aturan berlaku. “Bukan malah melonggarkan aturan karena keterlanjuran.”Terkait mekanisme pengambilan keputusan ditingkat sekber (seretariat bersama), harus dipertegas apa saja yang menjadi domain Sekber. Format Sekber Kalbar ini, seperti Dewan Kehutanan Nasional, ditingkat pusat yang terbagi dalam berbagai kamar baik pemerintah, swasta, LSM, dan masyarakat adat.“Jangan sampai sekber dimanfaatkan pihak swasta guna melapangkan jalan ‘green wash‘ mereka. Lebih fatal, lagi kalo sampai ada CSO yang menjadi ‘tangan’ swasta.” Desa peduli gambutTahun ini, tiga kabupaten di Kalimantan Barat menjadi target restorasi gambut. Kabupaten lainnya akan dilaksanakan dengan skema pendanaan non-APBN. Pada lahan gambut yang akan direstorasi di areal yang tidak terbebani izin, BRG melaksanakan program Desa Peduli Gambut dengan pelibatan masyarakat dan pemerintah desa.Sebanyak 64 perwakilan telah mengikuti pelatihan dan pembekalan bagi fasilitator restorasi gambut di tingkat desa dan tenaga pemetaan partisipatif pemetaan sosial. “Mereka akan mendalami keahlian fasilitasi masyarakat dan pemetaan sosial untuk mendukung implementasi strategi restorasi gambut. Mereka akan ditempatkan di desa-desa prioritas restorasi gambut Kalbar,” ungkap Deputi Edukasi, Sosialisasi, Partisipasi dan Kemitraan BRG, Myrna Safitri. Mereka ujung tombak pemerintah, membantu sosialisasi dan edukasi masyarakat desa. Mereka yang bekerja di tingkat tapak.Para fasilitator ini akan bersinergi dengan pendamping desa, memfasilitasi penyusunan perencanaan desa yang memperhatikan aspek restorasi gambut. Para fasilitator akan mendampingi pembentukan dan penguatan kelembagaan masyarakat, termasuk kelembagaan ekonomi, seperti Badan Usaha Milik Desa (Bumdes). | [0.01646406203508377, 0.9831623435020447, 0.00037361495196819305] |
2017-056-16.json | Menuju Restorasi Gambut di Kalimantan Barat, Begini Kondisinya (Bagian 2) | Menuju Restorasi Gambut di Kalimantan Barat, Begini Kondisinya (Bagian 2) | Selain fasilitator desa, pelatihan juga melibatkan tenaga pemetaan partisipatif dan pemetaan sosial. Tugas mereka membantu masyarakat membuat peta desa secara partisipatif serta mengumpulkan informasi dan data sosial yang dapat digunakan dalam perencanaan pembangunan desa dan kegiatan restorasi gambut. “Para fasilitator dibekali teknik resolusi konflik,” katanya.Selanjutnya, BRG akan menambah fasilitator desa di 100 desa lain, bekerja sama dengan kelompok masyarakat sipil. Luasan wilayah yang tercakup dalam program Desa Peduli Gambut (DPG) sekitar 1 juta hektare.Kepala Harian Tim Restorasi Gambut Daerah Kalimantan Barat, Marius Marcellus TJ, mengatakan, pemanfaatan lahan gambut oleh berbagai kepentingan, baik masyarakat maupun pelaku usaha, yang dianggap penyebab kebakaran lahan, rentan timbulkan konflik. “Pelaku usaha khawatir terhadap implikasi hukum, sedangkan masyarakat yang menggantungkan hidupnya dengan memanfaatkan lahan gambut, bisa menjadi pihak yang dirugikan pula,” tandasnya. (Selesai) [SEP] | [0.999991238117218, 4.4677594814857e-06, 4.305404672777513e-06] |
2023-001-08.json | Sering Dijadikan Umpan Pancing, Kelomang Memiliki Fungsi Penting untuk Lingkungan | Sering Dijadikan Umpan Pancing, Kelomang Memiliki Fungsi Penting untuk Lingkungan | [CLS] Bagi masyarakat pesisir, kelomang bukanlah hewan yang asing. Krustasea ini banyak ditemukan dekat pantai hingga di bebatuan. Anak-anak kecil bahkan sering menangkapnya untuk dijadikan bahan permainan.Para pemancing juga sangat akrab dengan kelomang karena sering digunakan sebagai umpan untuk mendapatkan ikan. Kelomang juga dengan mudah didapatkan karena ada dijual secara online.“Kelomang dijadikan umpan untuk ikan karang dan yang berada di lamun,” ungkap Mansur, warga di pesisir Luwuk Timur, Kabupaten Banggai, kepada Mongabay, akhir Februari 2023.Menurut dia, kelomang sangat melimpah dan mudah ditemukan di tempatnya. Meski demikian, kelomang bukanlah umpan favorit para pemancing karena tidak semua ikan karang bisa memakan kelomang.Pengalamannya sendiri ketika menggunakan kelomang sebagai umpan, ia hanya sering mendapatkan ikan dengan jenis kakap putih.“Kalau dijadikan umpan, cangkangnya kami tumbuk atau hancurkan pakai batu, lalu dikaitkan ke mata kail. Saya sering mendapatkan kakap putih bila menggunakan umpan ini,” ujar Mansur.Kelomang biasa disebut kepiting pertapa atau dalam Bahasa Inggris dinamakan Hermit crab. Satwa ini memiliki perut lunak yang dilindungi cangkang kosong, sekaligus sebagai rumahnya. Perilaku unik Ini yang membedakan kelomang dengan jenis kepiting lain dengan tubuh keras.Baca: Kelomang, Si Kepiting Unik Hobi Berpindah Rumah Dwi Listi Rahayu, peneliti kelomang dari BRIN, dalam webinar Balai Bio Industri Laut, menjelaskan tercatat sebanyak 1.192 spesies kelomang di dunia. Secara morfologi, tubuhnya yang lunak disebut abdomen, kadang bentuknya lurus, melingkar, atau melengkung. Ketika kelomang tumbuh, ia akan mencari tempat berlindung untuk perutnya yang lunak tersebut. | [0.00033922979491762817, 0.9992603659629822, 0.0004004047659691423] |
2023-001-08.json | Sering Dijadikan Umpan Pancing, Kelomang Memiliki Fungsi Penting untuk Lingkungan | Sering Dijadikan Umpan Pancing, Kelomang Memiliki Fungsi Penting untuk Lingkungan | “Secara umum kelomang menggunakan cangkang gastropoda atau bivalva, tetapi dapat ditemukan juga hidup dalam bambu atau kayu, batu karang atau spons, dan tabung cacing untuk melindungi tubuhnya yang lunak,” ungkap Dwi Rahayu.Baca: Kepiting Kenari, Kepiting Terbesar di Dunia yang Suka Makan Kelapa Selain ditemukan di daerah pasang surut baik itu berpasir atau berbatu, ternyata kelomang juga bisa ditemukan di daerah mangrove, terumbu karang, hingga laut dalam. Tingkah unik kelomang adalah ketika dua individu saling bertemu maka yang terjadi biasanya saling tidak peduli, terjadi perkawinan, atau perkelahian.Menariknya, perkelahian itu dilakukan untuk memperebutkan cangkang atau rumah yang lebih bagus. Hal menarik lainnya, ada kelomang oportunis yang tidak terlibat dalam perkelahian. Posisinya hanya menunggu di belakang salah satu yang “kalah” dalam perkelahian, dengan cara ketika cangkangnya kosong, maka si kelomang oportunis itu akan segera mengisi rumah baru tersebut.Baca juga: Meski Berbeda Bentuk, Kuda Laut Termasuk Jenis Ikan Dalam penjelasannya, Dwi Listi Rahayu mengatakan bahwa kelomang dapat dijadikan sebagai indikator berbagai kondisi lingkungan. Pertama, misalkan terjadi intrusi air tawar yakni buangan air tawar dari rumah tangga, maka hanya kelomang jenis tertentu saja yang bisa hidup.Kedua, jika kelomang ditemukan dalam jumlah berlimpah pada suatu daerah maka dapat dikatakan bahwa terjadi kematian moluska gastropoda yang banyak karena keberadaan kelomang di alam sangat tergantung dari ada tidaknya cangkang gastropoda.Ketiga, kelomang adalah pemakan segala [scavenger] sehingga fungsinya di alam adalah mendaur ulang dengan cara memakan serasah dan biota yang telah mati. [SEP] | [0.00033922979491762817, 0.9992603659629822, 0.0004004047659691423] |
2018-014-06.json | Cerita Perempuan Penyelamat Mangrove dari Nagalawan | Cerita Perempuan Penyelamat Mangrove dari Nagalawan | [CLS] Upaya Jumiati dan para perempuan di Desa Nagalawan, menanam mangrove di pesisir kritis, tak hanya mengatasi dan mencegah bencana seperti abrasi pantai dan banjir bandang juga bermanfaat bagi peningkatan ekonomi warga. Mereka mengolah beragam produk dari mangrove. Kawasan itupun jadi tempat wisata edukasi mangrove. Namanya Jumiati. Dialah penggerak perempuan nelayan dari Desa Sei Nagalawan, Kabupaten Sedang Bedagai (Sergai), Medan, Sumatera Utara. Dia menyambut saya ramah saat datang ke penginapannya di Bandung. Kala itu, dia menghadiri konferensi Global Land Forum 2018.Jumiati tampak menyeduh segelas teh seraya menggendong anaknya yang masih berusia delapan bulan. Saat wawancara, anaknya dijaga perempuan nelayan lain yang tergabung dalam Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia.Begitu juga kala Jumiati jadi narasumber Inisiatif Perlawanan Rakyat, Melawan Solusi Palsu Ekonomi Global, rekannya yang membantu menjaga sang bayi.”Saya berharap inisiatif masyarakat lokal yang lahir secara natural bisa dipandang oleh pemerintah,” kata perempuan 39 tahun ini.Ibu tiga orang anak ini bersama sang suami menginisasi perempuan nelayan menanam mangrove di pesisir laut, di daerah tempat mereka tinggal.”Mangrove banyak manfaat, seperti menahan abrasi,” katanya.Pengetahuan menanam itu dia dapat dari keluarga sang suami. Pada 1980-an, kawasan itu banyak mangrove namun terbabat habis oleh perusahaan yang mengelola tambak. Pesisir jadi gersang, bahkan hampir hilang.Dampaknya, masyarakat yang panen. Penghasilan nelayan kian menurun, abrasi, banjir kalau ada pasang besar.Jumiati berharap, hutan mangrove sekaligus dapat menopang ekonomi keluarga warga sekitar pesisir.Satu demi satu bibit mangrove mereka tanam hingga kini sudah belasan hektar. Awalnya, mereka mulai sangatlah sulit, banyak orang menganggap aksi mereka tak memberikan manfaat. | [0.016374895349144936, 0.019575536251068115, 0.9640495181083679] |
2018-014-06.json | Cerita Perempuan Penyelamat Mangrove dari Nagalawan | Cerita Perempuan Penyelamat Mangrove dari Nagalawan | ”Dianggap kurang kerjaan oleh laki-laki dan banyak ejekan lain, tapi saya tetep jalan,” katanya, seraya bilang ingin mengembalikan kondisi hutan mangrove seperti dulu. Dia tetap semangat. Dia berpikir, ejekan mungkin karena mereka pengetahuan manfaat hutan mangrove bagi mereka terutama warga pesisir atau nelayan.Lambat laun, pelahan-lahan, pengetahuan masyarakat tumbuh, mulai ada kesadaran peduli alam. Mereka sudah tau tak boleh menebang pohon sembarang dan betapa penting hutan mangrove. Bersama Jumiati, para perempuan tak hanya menikmati manfaat mangrove sebagai benteng alam dari abrasi, juga secara ekonomi. Tempat itu jadi wisata edukasi, dengan masyarakat jadi pengelola.Warga kini menawarkan paket edukasi plus wisata, seperti kelas mangrove, adopsi pohon, tracking dan kelas pengolahan hasil dari mangrove.”Semua saya lakukan otodidak, belum ada pendampingan kala itu,” katanya sambil bilang, pernah ikut sekali penyuluhan dari Dinas Koperasi Sumatera Utara.Bersama para perempuan, dia pun membuat usaha lain seperti sembako dan simpan pinjam. Sampai pada akhirnya, Oktober 2005, dia membentuk Koperasi Kelompok Perempuan Nelayan Muara Tanjung. Kini anggota koperasi simpan pinjam ada 67 orang. Ia gabungan antara nelayan laki-laki (30 orang) dan perempuan (37 orang).Debut awal koperasi dia memikirkan, bagaimana pendataan pengeluaran dan pemasukan, memberikan pinjaman dan mengajak warga menabung.Perempuan keturunan Sumatera dan Jawa ini pun sempat memutar otak mencari cara yang hendak mereka lakukan untuk peningkatan ekonomi masyarakat.”Kita buat produk olahan dari mangrove, seperti kerupuk jeruju, teh, sirup mangrove, selai mangrove dan dodol mangrove,” katanya. Produk kelolaan ini sudah dilengkapi izin Dinas Kesehatan, maupun label halal. | [0.000254815851803869, 0.01976369507610798, 0.979981541633606] |
2018-014-06.json | Cerita Perempuan Penyelamat Mangrove dari Nagalawan | Cerita Perempuan Penyelamat Mangrove dari Nagalawan | Ketekunan Jumiati dan kelompoknya sejak 2004 membuahkan hasil. Kini koperasi nelayan ini punya enam unit usaha, yakni, simpan pinjam bermodal kepercayaan, wisata edukasi mangrove, pengolahan produk turunan mangrove dan hasil laut.Unit usaha itu lahir, katanya, dari kebutuhan masyarakat, misal, simpan pinjam perlu ada karena nelayan sulit mendapatkan utang perbankan. ”Biasa pakai agunan, mana kita punya itu. Mengurus sertifikat aja sulit, tanah tak ada. Kalau ada sertifikat laut mungkin kita bisa,” katanya tertawa.Pinjaman, katanya, diberikan bukan untuk kegiatan konsumtif, seperti memperbaiki mesin kapal rusak, alat tangkap nelayan, atau buat sampan. “Paling besar pinjaman Rp2 juta.”Perputaran keuntungan dari unit usaha, katanya, biasa mendatangkan ide lain untuk pengembangan koperasi. Kini, mereka mengusahakan tambak alam, sudah empat kolam terbangun.Per unit usaha itu bisa memperkerjakan semua anggota tanpa harus ‘mengemis’ ke pemerintah. ”Dari mulai manajemen, bagi hasil, pekerja kami atur sendiri,” katanya.Kehidupan mandiri masyarakat pun terbangun, ekonomi bangkit pelahan.”Kalau dalu rumah atap, sekarang seng. Dulu lantai semen, sekarang keramik. Dulu tidak memiliki Honda sekarang punya,” katanya.Dia membandingkan pendapatan warga rata-rata per hari, pada 2005 sekitar Rp30.000 sekarang Rp100.000.Pemahaman soal pendidikan pun meningkat. Kalau dulu anak-anak tak sekolah, tidak apa-apa, kini malu. Sekolah jadi penting.Budaya menabung lewat koperasi pun muncul. Dulu, katanya, saat Lebaran, tidak punya uang, beragam barang di rumah terjual. Sekarang, tabungan lebaranLada, bahkan dapat sisa hasil usaha.Koperasi ini, katanya, tak hanya berbicara unit usaha tetapi jadi sarana membangun semangat berorganisasi dan berinovasi.”Mau bergantung negara untuk kita memang susah. Kita harus mandiri dan berdikari mengelola potensi yang ada.” | [0.000254815851803869, 0.01976369507610798, 0.979981541633606] |
2018-014-06.json | Cerita Perempuan Penyelamat Mangrove dari Nagalawan | Cerita Perempuan Penyelamat Mangrove dari Nagalawan | Keterangan foto utama: Jumiati, penggerak perempuan nelayan dari Desa Sei Nagalawan, Kabupaten Sedang Bedagai (Sergai), Medan, Sumatera Utara. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia [SEP] | [0.000254815851803869, 0.01976369507610798, 0.979981541633606] |
2019-020-12.json | Aksi Desak Tangani Kebakaran Hutan dan Kabut Asap Berulang | Aksi Desak Tangani Kebakaran Hutan dan Kabut Asap Berulang | [CLS] Ratusan mahasiswa dan seniman Kota Medan, Sumatera Utara, menggelar aksi di depan Kantor Gubernur Sumut, di Medan, di penghujung September lalu. Mereka mendesak pemerintah segera menangani asap kebakaran hutan dan lahan berulang di sejumlah wilayah di Indonesia, terutama di Sumatera dan Kalimantan.Di Sumatera Utara, selain asap kiriman, kebakaran gambut dan lahan perkebunan sawit juga terjadi. Berdasarkan data Badan Penanggulan Bencana Daerah Sumatera Utara (BPBD Sumut) dan BPBD Asahan, kebakaran gambut terjadi di Desa Pembangunan, Sri Kepayang, Asahan sekitar 30 hektar. Akibatnya, kabut asap menyelimuti sejumlah wilayah hingga ke Kota Tanjung Balai dan Batubara.Data Pemerintah Sumut, selain Asahan, asap karhutla juga terjadi di Kota Padang Sidempuan, Padang Lawas Utara (Paluta) dan Labuhan Batu Selatan (Labusel). Di Labusel, pemerintah terpaksa meliburkan sekolah pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan SD.“Inilah yang membuat kami khawatir. Asap kebakaran hutan jelas menganggu kesehatan manusia. Kami turun ke jalan mendesak pemerintah tak hanya pencitraan. Segera tangani serius,” kata Muhammad Fahrizal Tarigan, penanggung jawab aksi, kepada Mongabay. Berdasarkan data Pusat Penanggulangan Krisis (PPK), Kementerian Kesehatan, rekapitulasi data penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) 2019 di beberapa provinsi, antara lain, Riau pada periode Februari-September 268.591 jiwa, Jambi periode Juli-Agustus ada 63.554 korban.Di Sumatera Selatan, terpapar ISPA periode Maret- September ada 291.807 orang. Di Kalimantan Barat, Februari-September, 163.662 orang, Kalimantan Tengah Mei-September 36.419 jiwa dan Kalimantan Selatan Juni- Agustus ada 60.993 orang.Kalau melihat data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), sampai 21 September 2019, pantauan titik api kategori sedang dan tinggi hingga sore hari 2.288 titik untuk seluruh Indonesia. | [0.01809711940586567, 0.9629115462303162, 0.01899130828678608] |
2019-020-12.json | Aksi Desak Tangani Kebakaran Hutan dan Kabut Asap Berulang | Aksi Desak Tangani Kebakaran Hutan dan Kabut Asap Berulang | Menurut Tarigan, kondisi enam provinsi berasap dengan kualitas udara berdasar konsentrasi PM10 adalah Riau 314 (berbahaya), Jambi 238 (sangat tak sehat). Lalu, Sumatera Selatan 155 (tak sehat), Kalimantan Barat 324 (berbahaya), Kalimantan Tengah 409 (berbahaya) dan Kalimantan Selatan 22 (baik).“Kalau dilihat data itu, perhatikan provinsi tetangga kita, yaitu Riau, kebakaran hutan cukup masif. Kita di Sumut tekena. Kami desak, pemerintah bertindak cepat menangani masalah ini. Jangan cuma pembakar yang ditangkap, korporasi juga,” katanya.Dalam aksi penolak asap dan kebakaran hutan ini, para seniman Kota Medan dan mahasiswa menggelar aksi teatrikal, pembacaan puisi, akustik musik, dan pembagian masker kepada pengguna jalan.Ada yang menarik dalam aksi menolak asap dan pembakaran hutan ini. Dua seniman dan mahasiswa menggunakan kostum orangutan dan harimau Sumatera.“Ini bentuk keprihatinan kita atas pembakaran hutan juga rumah satwa liar dilindungi seperti harimau Sumatera dan orangutan.”“Kami mendesak pemerintah mencabut izin perusahaan yang menyalahi aturan.”Melihat kesehatan masyarakat di sejumlah kabupaten dan kota di Sumut mulai terganggu kabut asap karhutla, Gubernur Sumut, Edy Rahmayadi, bersama Pangdam l/BB, Kapolda Sumut, bupati/walikota kabupaten kota, dan pengusaha perkebunan sawit, menggelar rapat terbatas.Di hadapan para pengusaha perkebunan sawit, menyatakan, tengah mendata serta mengumpulkan temuan lapangan. Kalau nanti terbukti ada perusahaan perkebunan sawit sengaja membakar lahan, akan langsung mencabut izin mereka.“Jadi kalau saya bilang, bukan api saja yang dipadamkan. Pembakardan yang menyuruh membakar juga wajib di padamkan,” katanya.Pemerintah Sumut juga sudah membagikan hampir 500.000 masker. Seluruh puskesmas dan Dinas Kesehatan juga diminta siaga 24 jam penuh. Kalau ada warga terserang sesak napas segera tangani. | [0.46379584074020386, 0.011239985935389996, 0.5249642133712769] |
2019-020-12.json | Aksi Desak Tangani Kebakaran Hutan dan Kabut Asap Berulang | Aksi Desak Tangani Kebakaran Hutan dan Kabut Asap Berulang | “Sumut siaga kebakaran hutan. Selain dibantu aparat kepolisian kita juga dibantu pasukan TNI dari jajaran Kodam I Bukit Barisan,” kata Edy. Hujan, kualitas udara membaikPantauan BNPB berdasarkan citra satelit Modis-catalog Lapan pada Senin (30/9/19), menunjukkan kualitas udara membaik seiring hujan turun, titik api (hotspot) berkurang di Sumatera dan Kalimantan.Agus Wibowo, Humas BNPB dalam rilis Selasa (1/10/19) mengatakan, pantauan titik panas cenderung turun, seperti di Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat (Kalbar) dan Kalimantan Tengah (Kalteng).Data 30 September, mencatat titik panas berjumlah 673, tertinggi di Kalimantan Selatan dengan 141 titik, Kalimantan Tengah 63, Sumatera Selatan 63 dan Jambi 15. Riau dan Kalimantam Barat, tidak terdeteksi ada titik api.Luasan hutan dan lahan terbakar selama 2019, sekitar 328.724 hektar.“Kecenderungan titik panas turun semoga terus dipertahankan hingga masyarakat dapat menghirup udara sehat dan beraktivitas di luar rumah,” kata Agus. Keterangan foto utama: Kabut asap karhutla. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia [SEP] | [0.46379584074020386, 0.011239985935389996, 0.5249642133712769] |
2012-046-16.json | Jatam: Keadilan Masih Milik Pemodal | Jatam: Keadilan Masih Milik Pemodal | [CLS] MAJELIS hakim Pengadilan Negeri Waikabubak, Sumba Barat memvonis sembilan bulan penjara kepada Umbu Mehang, Umbu Janji, dan Umbu Pendingara, warga Desa Prai Karuko Sumba Tengah. Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menilai, vonis ini makin mengukuhkan keberpihakan pengadilan atau hukum kepada penjahat lingkungan dan pemilik modal, bukan pada rakyat kecil.Ketiga warga itu terpaksa menjalani gugatan karena dituduh merusak alat berat PT. Fathi Resources, perusahaan tambang emas dengan saham mayoritas dimiliki oleh Hillgrove Resources Ltd. (Australia). Terbakarnya alat berat terjadi saat perusahaan mengebor di lahan kelola masyarakat.Andrie S Wijaya, koordinator Jatam, dalam siaran pers, Kamis(3/5) mengatakan, kehadiran PT. Fathi Resources, sejak semula ditolak masyarakat. Penolakan secara formal dengan aksi demonstrasi dan melayangkan surat. Namun, perusahaan dan pemerintah daerah tak merespon suara warga.Bahkan, diam-diam (6/4/2011) perusahaan mengebor di lokasi pengembalaan ternak dan dekat wilayah yang dikeramatkan warga.” Di lokasi itulah alat berat perusahaan terbakar. Ketika warga berbondong-bondong melihat kejadian, mereka hanya menemui dua anggota polisi tanpa satupun operator alat berat perusahaan di tempat,” katanya di Jakarta.Nasib buruk menimpa warga. Mereka dituduh merusak alat berat itu. Sejak April ketiga warga ini dikenakan wajib lapor hingga November 2011. Usai menjalani wajib lapor, tiga warga tlangsung ditahan (6/12/11) dan menjalani persidangan, dengan tuduhan pasal berlapis yakni Pasal 170 ayat 1 dan 2, Pasal 187 sub pasal 406 ayat 1 jo pasal 5 ayat 1 KUHP. | [1.0, 1.718947317819186e-09, 1.4937721060093168e-09] |
2012-046-16.json | Jatam: Keadilan Masih Milik Pemodal | Jatam: Keadilan Masih Milik Pemodal | Kamis 3 Mei 2012, majelis hakim memutus sembilan bulan sedikit lebih ringan dari jaksa yang menuntut 18 bulan penjara. “Namun, seringan apapun hukuman yang diterima mereka bertiga merupakan potret buruk pengadilan di Indonesia yang tidak berpihak dan mengabaikan hak-hak masyarakat.” “Vonis sembilan bulan itu tidak akan menghentikan perlawanan kami dalam mempertahankan hak dan wilayah kelola hidup kami,” kata Umbu Wulang Tanaamahu, pendamping warga.Menurut Andrie, pengadilan seperti ini akan terus terulang dan selalu tidak berpihak kepada warga. “Selama pemerintah masih terus berpihak kepada pengusaha tambang, pemodal akan menggunakan cara-cara seperti ini untuk menghentikan warga.” [SEP] | [0.9999897480010986, 5.327978669811273e-06, 4.870696557190968e-06] |
2022-053-19.json | 1001 Cerita Duka Masyarakat Pesisir | 1001 Cerita Duka Masyarakat Pesisir | [CLS] Pasirnya ditambang. Lautnya direklamasi dan tercemar. Mangrovenya dibabat. Warganya dikriminalisasi. Abrasi dan banjir rob menghantui sepanjang musim. Ikan tangkap kian sulit, ekonomi jadi terjepit. Krisis air bersih. Pemerintah seakan menutup mata kasus yang mengancam keselamatan warga dan lingkungan. Pemerintah lebih sering jadi pahlawan kesiangan setelah warga berupaya perbaikan dengan swadaya.Andai dibukukan, itulah diantara beberapa persoalan di pesisir yang cocok jadi daftar isi buku berjudul “1001 Cerita Duka Masyarakat Pesisir” yang diceritakan Asmania, aktivis Perempuan Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta dan Novika Inda aktivis Remis Bengkulu dalam diskusi virtual bertajuk ‘Krisis Iklim dan Penyelamatan Pesisir’ oleh Extinction Rebellion Indonesia, Selasa (22/3/2022) lalu.Asmania mengatakan, Pulau Pari terdampak krisis iklim dan tercemar sampah kiriman, puncaknya di bulan April dan Mei. “Banjir rob melanda Pulau Pari dalam 10 tahun belakangan. Padahal sebelumnya tidak pernah terjadi. Air masuk ke rumah warga, khususnya di bagian barat. Air mandinya sudah asin. Pulau Pari kecil, tapi diperebutkan oleh korporasi. Luasnya hanya 42 hektar. Dengan jumlah penduduk 435 KK. Terdiri dari Satu RW 4 RT,” ungkapnya.Selain bergantung pada hasil laut, masyarakat setempat juga kelola wisata untuk menambah pendapatan. Wisatawan diarahkan untuk tanam mangrove sebagai bentuk kepedulian pada lingkungan. Masyarakat setempat tanam mangrove untuk meminimalisir dampak krisis iklim. Termasuk di kawasan pantai Rengge, yang abrasinya cukup parah. Dia bilang, warga setempat mulai sadar dan mengurangi penggunaan plastik dan sudah ada petugas dari Suku Dinas Lingkungan Hidup (Sudin LH) untuk bersih-bersih di pantai.baca : Siapa Pemilik Pulau Pari Sebenarnya? | [0.9999874830245972, 6.7843425313185435e-06, 5.685313681169646e-06] |
2022-053-19.json | 1001 Cerita Duka Masyarakat Pesisir | 1001 Cerita Duka Masyarakat Pesisir | “Jujur, saya bukan anti pemerintah. Tapi sejak awal kasus di Pulau Pari, saya lihat pemerintah seakan menutup mata. Kami berkebun untuk ketahanan pangan, meski tak ada sentuhan pemerintah. Ketika berhasil kelola pantai, tiba-tiba pemerintah dari Pokdarwis datang memuji dan minta kerjasama lengkap dengan saran ini itu, yang akhirnya minta untuk klaim keberhasilan itu bagian dari program mereka. Padahal, perempuan Pulau Pari sedari awal mengelola dengan swadaya,”Perempuan setempat kelola hasil laut menjadi bakso ikan, kerupuk ikan. Juga mengolah rumput laut, tapi berhenti sejak adanya reklamasi resort. “Sebagian wilayah diklaim PT Bumi Raya Pari Asih. Sampai sekarang mereka belum bisa bikin apa-apa. Justru warga masih diadu domba dan jadi korban. PT Bumi Raya menggerakkan anak perusahaannya, mengkriminalisasi warga,”Novika Inda, juga cerita persoalan di Pesisir Seluma, Bengkulu. Menurutnya, ombak di perairan setempat tak menentu. Tangkapan pun tidak stabil. Nelayan remis atau pigi sudah mulai resah. Dulu, remis besar saja yang diambil, sekarang yang kecil pun diambil saking terbatas. Dia menduga, ketidakstabilan pola tangkap itu karena krisis iklim dan akibat aktivitas tambang pasir.“Pesisir Seluma terdampak aktivitas tambang pasir besi oleh PT Pamia yang bergejolak pada 2010. Meskipun dimenangkan oleh masyarakat, tetap ada korban. 6 orang ditangkap dengan tuduhan pengrusakan dan dipenjara selama 6 bulan. Kasus terbaru, menimpa ibu-ibu bergerak melawan menggantikan bapak-bapak sebagai antisipasi agar kejadian 2010 terulang. Tapi justru ibu-ibu itu jadi korban juga,”baca juga : Bengkulu Makin Sering Dilanda Banjir, Mengapa? | [0.9993699789047241, 0.00033445339067839086, 0.00029553149943239987] |
2022-053-19.json | 1001 Cerita Duka Masyarakat Pesisir | 1001 Cerita Duka Masyarakat Pesisir | Masyarakat pernah protes ke kabupaten dan provinsi. Tapi dari sekian tuntutan, sampai sekarang belum ada tanggapan. Termasuk resomasi. Ada beberapa yang direspon, misal pemerintah menghimbau PT. Faming Levto Bakti Abadi untuk menghentikan aktivitas pertambangan. Kenyataanya, aktivitas tetap jalan. Dia menilai fakta itu menunjukkan bahwa seakan-akan pemerintah dilangkahi.Abrasi sudah lama terjadi. Kalau tambang pasir itu terus berjalan, tegasnya, warga semakin terancam. “Andai kata dampak abrasi alamiah bisa dirasakan 5 tahun, aktivitas pertambangan pasir dari perusahaan tersebut bisa mempercepat dampak dalam jangka 3 bahkan 1 tahun saja,”Dia bilang, jarak hutan lindung tersedia untuk penahan abrasi tinggal 50 sampai 100 meter. Pada bulan 7 sampai 10, ombak naik sampai hutan lindung. Novika menduga, kemungkinan dari tahun 2022 ke 2035, jalan lintas pesisir setempat diperkirakan akan habis terkikis ombak.Wahyu Eka Setyawan, Direktur Eksekutif Walhi Jawa Timur mengaitkan persoalan pesisir dengan UU Cipta Kerja yang merupakan wujud dari barbarnya politik neoliberal. Karena UU ini melepaskan tanggung jawab negara dalam konteks eksploitasi, terutama sumber daya alam. Contohnya, frasa perizinan diganti persetujuan, yakni dikembalikan ke mekanisme pasar. Maka tidak heran muncul kekerasan, kriminalisasi dan sebagainya. Dia menilai, secara tidak langsung, negara hanya sebagai pelaksana saja.“UU Cipta Kerja menabrak UU No.32/2009 tentang Perlindungan Pengelolaan Lingkungan Hidup atau PPLH. UU Cipta Kerja No.11/2020 itu sudah cacat,” tegasnya.baca juga : Nasib Nelayan Indonesia ditengah Jepitan Krisis Iklim dan Industri Ekstraktif Menurutnya, UU Cipta Kerja cukup manipulatif, tidak melibatkan partisipasi, dan tujuannya berbeda. UU PPLH cukup bagus tapi tidak diterapkan secara maksimal. Sedang UU Cipta Kerja, berseberangan dengan UU Minerba dan juga aturan lainnya. | [0.9993699789047241, 0.00033445339067839086, 0.00029553149943239987] |
2022-053-19.json | 1001 Cerita Duka Masyarakat Pesisir | 1001 Cerita Duka Masyarakat Pesisir | “Semisal terjadi persoalan di laut, arahnya ke maritim. Misal jadi soal tambang arahnya ke SDM. Artinya, KLHK hanya disuruh urusi hutang. Itu pun nantinya bertabrakan dengan pertanian dan perkebunan. Artinya, ada problem birokrasi yang memang tidak jalan. Apalagi tata peraturan soal sinkronisasi aturan atau UU tidak jalan,”Dia menilai, pengurangan wewenang pemerintah daerah dianggap menghambat pembuatan aturan. Ketika dampak buruk UU Cipta Kerja terjadi di daerah, maka pemerintah daerah beralasan bahwa kebijakan di pemerintah daerah berdasarkan keputusan pemerintah pusat.“Adanya UU Cipta Kerja yang terkait, maka akan menambah ancaman dan keterancaman di pesisir. Dan kapasitasnya, tentu bicara daya dukung dan daya tampung. Sekarang keduanya mengalami penurunan. Ditambah ancaman dan keterancaman. Kampung pesisir bisa hilang seperti di Demak, Jakarta Utara. Berkurangnya kawasan mangrove di Nambangan, Surabaya. Terancamnya pulau kecil, terutama di Madura,”Dalam hal ini, persoalan pesisir masuk dalam pepatah sudah jatuh tertimpa tangga. Sudah terdampak krisis iklim masih juga terdampak aktivitas pertambangan, minyak lepas pantai belum lagi produksi hulu hilir minyak, yang menyebabkan tumpahan oli seperti kasus di Lampung dan Batubara di Masalembu.baca juga : Nelayan Resahkan Kapal Pengangkut Batubara yang Kandas Mencemari di Perairan Masalembu Susan Herawati, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) mengatakan krisis iklim yang terjadi salah satu penyebabnya adalah aktivitas manusia. Krisis iklim sangat berdampak bagi pesisir dan pulau-pulau kecil. Ketika abrasi terjadi akibat pengambilan pasir, otomatis berpengaruh pada pola tangkap juga tempat tinggal mereka, dan hal ini menyeramkan. | [0.9993699789047241, 0.00033445339067839086, 0.00029553149943239987] |
2022-053-19.json | 1001 Cerita Duka Masyarakat Pesisir | 1001 Cerita Duka Masyarakat Pesisir | Dia menyayangkan lahirnya aturan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang didalamnya seakan melegalkan tambang pasir “Di dalam PP No. 85/2021, seakan mengatur bahwa pasir boleh ditambang asal bayar pajak. Seolah aksi itu tidak merusak secara ekologi, dan pajak itu bagian dari kompensasi. Inilah situasi yang kita sebut sebagai frustasi ekonomi. Orang dipojokkan kemudian regulasi semakin kacau,”Susan contohkan, penambangan pasir untuk pembangunan Makassar CPI di Kodingareng, Makassar. Kasus itu, membuat perempuan nelayan setempat tidak nyenyak tidur di malam hari. Baik takut suaminya hilang atau meninggal di laut.Rakyat hanya menjadi korban dan penonton dari kerusakan lingkungan, serta bingung mau mengadu kemana. Pajak yang dikontrol lewat PNBP targetnya Rp12 triliun pada 2024. Seberapapun besarnya, kata Susan, tidak akan bisa mengganti kerusakan lingkungan oleh negara.“Diantara solusi untuk polemik krisis iklim dan upaya penyelamatan pesisir adalah dengan memperkuat mental masyarakat pesisir. Supaya tidak jadi personal bigger yakni gak papa laut dirusak, asal dapat kompensasi. Harusnya, mereka berpikir mandiri bahwa kalau kawasan laut diprivatisasi, harus melawan,” ujarnya. [SEP] | [0.9993699789047241, 0.00033445339067839086, 0.00029553149943239987] |
2015-046-10.json | Koalisi Minta DPR Prioritaskan RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan | Koalisi Minta DPR Prioritaskan RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan | [CLS] Para nelayan dan petambak garam menyambut positif pembahasan RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan dan Pembudidaya Ikan (PPNPI) inisiatif DPR. Koalisi untuk Hak Nelayan dan Masyarakat Pedesaan Pesisir pada pertengahan Juni 2015, Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi IV di Jakarta. Koalisi meminta DPR memprioritaskan penyelesaian pembahasan RUU buat nelayan ini.Abdul Halim, Sekretaris Jenderal Kiara kepada Mongabay mengatakan, ini momentum baik bagi negara mengakui dan memuliakan pahlawan protein sekaligus produsen pangan, yakni nelayan, perempuan nelayan, pembudidaya dan petambak garam.Selama ini, katanya, mereka terabaikan. Harapan mereka untuk terpenuhi hak-hak jauh panggang dari api. Aturan yang mengatur hak-hak, perlindungan dan pemberdayaan mereka masih minim.Dari draf naskah akademik RUU PPNPI yang disiapkan Sekretariat Jenderal DPR-RI per 1 Juni 2015, mulai terlihat upaya menghadirkan negara dalam melindungi dan menyejahterakan mereka.Menurut Halim, hak nelayan seringkali terabaikan kala menangkap ikan dari proses melaut sampai penjualan, seperti penyerobotan wilayah tangkap dan pencemaran pesisir dan laut meskipun ada Instruksi Presiden tentang Perlindungan Nelayan.Nelayan, katanya, juga dihambat perizinan bertele-tele, memakan waktu dan biaya, akses permodalan dan BBM bersubsidi hampir mustahil diperoleh dengan ketentuan harga Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2012, yakni Rp4.500.“Parahnya, saat kecelakaan melaut, tidak ada keberpihakan pemerintah, misal, jaminan perbaikan kapal,” kata Halim. | [0.27853596210479736, 0.3501799404621124, 0.3712840676307678] |
2015-046-10.json | Koalisi Minta DPR Prioritaskan RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan | Koalisi Minta DPR Prioritaskan RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan | Dalam RDP itu, Kiara menyampaikan, RUU ini tantangan pemerintah dalam menghapus tiga mis-persepsi kepada nelayan, pembudidaya dan petambak garam. Pertama, dalam pendapatan, nelayan bukan termiskin (the poorest of the poor). Fakta terpampang jelas, negara absen dalam memastikan pelayanan hak-hak dasar dan program peningkatan kesejahteraan nelayan tepat sasaran. Hingga tengkulak (middle man) memanfaatkan peluang ini. Alhasil, prinsip survival of the fittest berlaku di perkampungan nelayan.Kedua, kerentanan nelayan makin besar akibat ketidakpastian sistem produksi (melaut, mengolah hasil tangkapan, dan memasarkan) dan perlindungan terhadap wilayah tangkap. Di Indonesia, Menteri Kelautan dan Perikanan dimandatkan dalam UU Perikanan untuk menjalankan usaha perikanan sistem bisnis perikanan, meliputi praproduksi, produksi, pengolahan, dan pemasaran.Namun, katanya, ketidakmampuan pemangku kebijakan mengejawantahkan mandat UU inilah berujung risiko kegagalan ekonomi, kebijakan bagi nelayan tinggi.Ketiga, marjinalisasi sosial dan politik oleh kekuasaan berimbas kepada akses nelayan terhadap pelayanan hak-hak dasar minim, misal, kesehatan, pendidikan, akses air bersih, sanitasi, dan pemberdayaan ekonomi. Tiga mispersepsi ini, kata Halim, merupakan pekerjaan rumah pemerintah bekerjasama dengan masyarakat kelautan dan perikanan skala kecil.Budi Laksana, Sekretaris Jenderal Serikat Nelayan Indonesia (SNI) mengatakan, RUU ini harus melihat kekhususan hak nelayan, baik sebagai warga negara maupun pelaku perikanan kecil. Jika hal ini terumuskan baik, UU PPNPI akan menjadi pintu masuk sejarah bangsa Indonesia dalam mengakui dan menyejahterakan mereka.Peran dan harapan perempuan nelayan | [0.00033922979491762817, 0.9992603659629822, 0.0004004047659691423] |
2015-046-10.json | Koalisi Minta DPR Prioritaskan RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan | Koalisi Minta DPR Prioritaskan RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan | Masnuah, Koordinator Persaudaraaan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI) mengatakan, belum ada jaminan sosial dan asuransi bagi nelayan bila mengalami kecelakaan, alat tangkap hilang, meninggal di tengah laut dan tidak ketemu jasad. Negara juga belum mengakui peran perempuan nelayan yang penting dalam melaut.“Banyak nelayan ditangkap, disandera karena tidak tahu aturan hukum apa yang dilanggar. Aparat meminta uang ke nelayan. Aparat itu seperti bajak laut yang berseragam negara.”PPNI berharap, Presiden Joko Widodo dan Menteri Susi Pudjiastuti memberikan perhatian khusus bagi nelayan yang bekerja menantang maut.Dia berharap, kepada Susi yang mempunyai pengalaman panjang sebagai pengusaha perikanan hingga mengetahui kondisi sosial ekonomi dan perempuan nelayan.“Pemerintah harus memfasiltasi prasarana kelompok perempuan nelayan. Jika hanya omong kosong, sama dengan pemerintahan lama.”Pasca penyampaian pokok-pokok pikiran Koalisi menyerahkan naskah akademik RUU PPNPI, dan catatan kritis atas draf DPR kepada pimpinan rapat, Viva Yoga Mauladi. Versi masyarakat sipil ini disusun partisipatif bersama organisasi nelayan, perempuan, petambak garam, pembudidaya dan pelestari ekosistem pesisir di bagian barat, tengah dan timur Indonesia.Sulit akses asuransi dan bankWakil Ketua Komisi IV DPR RI, Viva Yoga mengatakan, selama ini tidak ada asuransi mau memberikan perlindungan bagi nelayan, dengan alasan risiko terlalu besar. Jikapun asuransi ada, nelayan tidak sanggup membayar premi. “Ini sebenarnya menjadi tanggung jawab negara dalam membayarkan premi. Ketika di laut nelayan terlindungi, begitupun dengan nelayan tangkap atau pembudidaya ikan, jika bencana datang menyebabkan gagal panen.” | [0.9999907612800598, 4.496447218116373e-06, 4.684098712459672e-06] |
2015-046-10.json | Koalisi Minta DPR Prioritaskan RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan | Koalisi Minta DPR Prioritaskan RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan | Begitupun juga penjaminan permodalan. Tidak sedikit, katanya, pembudidaya ikan tidak mampu mengembankang usaha, bahkan terpaksa gulung tikar karena kurang modal. Bank tak bersedia menjamin karena kebanyakan nelayan tidak memiliki sertifikat rumah sebagai agunan. Kondisi ini, membuat nelayan makin terbelakang hingga terus berada di garis kemiskinan. [SEP] | [0.00033922979491762817, 0.9992603659629822, 0.0004004047659691423] |
2013-023-16.json | Bentrok Warga Pantap vs Satpam Wilmar Buntut Konflik Lahan Berlarut | Bentrok Warga Pantap vs Satpam Wilmar Buntut Konflik Lahan Berlarut | [CLS] Konflik lahan yang sudah berkepanjangan antara warga Desa Pantap, Kecamatan Kuala Kuayan, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah (Kalteng), dan PT Bumi Sawit Kencana (BSK), memanas. Terjadi, bentrokan antara puluhan warga dengan Satpam perkebunan sawit milik anak usaha Wilmar Group ini, Selasa (23/7/13). Dalam kejadian itu, empat warga luka-luka, satu motor warga rusak, dua truk dan satu mobil perusahaan juga rusak. Dua pos penjagaan satpam pun dibakar warga.Arie Rompas, Direktur Eksekutif Walhi Kalteng, mengatakan, bentrok ini dampak konflik lama yang tak pernah diselesaikan pemerintah. “Banyak konflik di perkebunan sawit adalah akumulasi penguasaan tanah oleh segelintir orang termasuk Martua Sitorus, pemilik Wilmar ,” katanya lewat surat elektronik kepada Mongabay, Kamis (25/7/13).Dia mengatakan, bila konflik terus dibiarkan akan meluas karena masyarakat di sekitar konsesi Wilmar sudah merasa terabaikan. “Tak ada satu pun persoalan tanah yang selesai, sama juga di desa lain yang masuk konsesi seperti Desa Tanggar, Kenyala, Tanah Putih, Sebabi, Biru Maju, Pondok Damar. Mereka sudah kehilangan tanah dan sumber penghidupan.”Pemerintah, katanya, harus segera membuat satu badan khusus penanganan konflik agraria guna memastikan resolusi konflik terjadi beserta sistem mekanisme pengaduan dalam menyampaikan persoalan-persoalan konflik. Pemerintah pun harus menjalankan reforma agraria guna mewujudkan keadialan agraria. “Dan membatasi skema penguasaan dan monopoli tanah oleh segelintir orang dalam sistem perkebunan skala besar,” ucap Arie.AKBP Himawan Bayu Aji, Kapolres Kabupaten Kotawaringain Timur di Sampit seperti dikutip dari Antara, mengatakan, bentrok diduga dipicu perselisihan lahan di perbatasan desa dengan perusahaan. Polres Kotim telah mediasi antara perusahaan dan warga dan kedua belah pihak sepakat berdamai. | [0.9992979764938354, 0.00035951982135884464, 0.00034251681063324213] |
2013-023-16.json | Bentrok Warga Pantap vs Satpam Wilmar Buntut Konflik Lahan Berlarut | Bentrok Warga Pantap vs Satpam Wilmar Buntut Konflik Lahan Berlarut | “Ada beberapa kesepakatan dalam perdamian itu antara lain, perusahaan bersedia mengobati warga yang terluka akibat pertikaian dengan Satpam. Motor warga yang dirusak akan diganti perusahaan,” kata Himawan.Poin lain, perusahaan bersedia menghentikan pembangungan parit pembatas antara perusahaan dan desa Pantap. Sebab, di dalam zona 200 yang dibangun itu masuk lahan warga.Sayangnya, penyelesaian hanya bersifat kasuistik, bukan mencari akar permasalahan hingga bara konflik tetap hidup. Data Walhi Kalteng, menyebutkan, bentrok antarmasyrakat Desa Pantap dengan pamswakarsa perusahaan akibat konflik lama berkepanjangan. Perampasan tanah masyarakat desa sekitar perusahaan sudah lama terjadi oleh PT BSK.Konflik sudah sejak 2006, mencakup lahan masyarakat seluas kurang lebih 2.000 hektar. Pada puncaknya, 23 Juli 2013, sekelompok warga Desa Pantap protes penggalian parit batas di tanah yang masih berkonflik. Namun satpam perusahaan memukul dan sempat merusak kendaraan masyarakat. Merasa terdesak dan tak berimbang warga kembali ke desa. Mereka memberitahukan warga lain.Kala kembali di lokasi, satpam ternyata sudah mempersiapkan diri dengan senjata rakitan dan pistol. Warga makin marah. Bentrok pun tak terelakkan.Terjadi pembakaran dua pos penjagaan perusahaan dan warga sweeping truk perusahaan yang melintas di jalan Desa Pantap. Dua truk dan satu mobil strada milik perusahaan rusak. Satu motor warga pun rusak dan empat orang mengalami luka-luka.Saat kejadian, kata Arie, hanya beberapa polisi yang menjaga. Memang, sudah ada kesepakatan dan pertemuan warga dengan perusahaan. Namun warga kecewa karena sudah banyak kesepakatan dibuat tetapi tak dijalankan. Basrun, Kepala Desa Pantap mencontohkan, ambulans yang dikirim perusahaan dinilai tak layak hingga warga menolak korban diangkut menggunakan mobil itu. | [0.9992979764938354, 0.00035951982135884464, 0.00034251681063324213] |
2013-023-16.json | Bentrok Warga Pantap vs Satpam Wilmar Buntut Konflik Lahan Berlarut | Bentrok Warga Pantap vs Satpam Wilmar Buntut Konflik Lahan Berlarut | Dia meminta, aparat mengusut satpam yang memukul warga dan segera menyelesaikan konflik lahan yang lama terbaikan demi menghindari konflik lebih parah.Wilmar Group, perusahaan multinasional milik Martua Sitorus dan Wiliam Kwok menguasai lahan seluas 276.920 hektar dari 18 izin konsesi. Sebanyak delapan perusahaan sudah beroperasi di Kalteng, khusus Kabupaten Kotawaringin Timur dan Seruyan. [SEP] | [0.9656471014022827, 0.017137303948402405, 0.017215635627508163] |
2016-069-07.json | Karya-karya Ini Cara Seniman Suarakan Isu Lingkungan | Karya-karya Ini Cara Seniman Suarakan Isu Lingkungan | [CLS] Sebuah karya video instalasi menampilkan narasi dampak perubahan iklim dan pemanasan global. Angki Muttaqien menggambarkan dengan tampilan planet biru meleleh perlahan. Lelehan tak henti menetes ke bawah. “Ber”kaca”lah.” Begitu judul video itu.Sudut lain, dalam karya Untiteld, terlihat sejumlah tabung gas melon ditumpuk satu sama lain. Firdaus Faishol membuat tabung-tabung gas dari tanah liat tampak jebol. Uniknya bukan mengeluarkan gas, tetapi arang kayu.Ine Rachmawati, lewat media photo on silkscreen menampilkan gambar buah lokal seperti salak, sirsak, belimbing, kedondong, manggis, rambutan, dan sirkaya. Dia memberi judul Local Fruits. Beragam karya ini dipamerkan Selasa-Rabu(5-13/4/16) di Bentara Budaya, Yogyakarta.Agenda kesenian bertajuk Tropis ini menyuguhkan sejumlah karya seniman muda, meliputi seni lukis, tari, instalasi, kriya, musik, hingga mixed media, dan workshop pembuatan diorama dan cukil lino.Suwarno Wisetrotomo, Kepala Program Studi Penciptaan dan Pengkajian Seni Institut Seni Indonesia, berpendapat, kesenian mengusung karya bertema lingkungan ini patut menjadi bahan renungan.“Di tengah-tengah selera rendah, hiruk pikuk politik, kehadiran peristiwa ini menjadi penting. Mengartikulasikan pesan mencerahkan, ini lebih penting dari produk seni itu sendiri. Pekerjaan menginspirasi adalah pekerjaan tak mudah,” katanya.Ketua Panitia, Briasanda Aspagura mengatakan, nama Tropis mewakili kekayaan variasi karya, sekaligus merespon isu lingkungan saat ini.Djoko Pekik, seniman senior Indonesia berharap, seniman-seniman muda peka masalah-masalah sosial. “Semoga mereka tanggap sosial, tanggap lingkungan, dan mudah-mudahan ikut bertanggung jawab memelihara lingkungan,” katanya kepada Mongabay.Pesan lingkungan | [0.016374895349144936, 0.019575536251068115, 0.9640495181083679] |
2016-069-07.json | Karya-karya Ini Cara Seniman Suarakan Isu Lingkungan | Karya-karya Ini Cara Seniman Suarakan Isu Lingkungan | Firdaus Faishol lewat Untiteld hendak menyuarakan dilema penggunaan bahan bakar fosil dan arang kayu. “Tabung gas melon mewakili simbol modernitas, arang kayu kebudayaan Jawa yang tumpah ruah keluar. Saya membayangkan kehidupan di Jogja juga begitu.”Ine Rachmawati dalam Local Fruits mencoba merespon persaingan buah impor dan lokal. Dia miris di pasar lebih mudah menemukan buah impor dibanding lokal.“Daya saing mereka boleh jadi lebih tinggi. Dikemas menarik menggunakan styrofoam, lebih awet. Masyarakat lebih banyak memilih buah impor dibanding lokal.” Di balik itu, ada ancaman terhadap lingkungan dan kesehatan. Styrofoam, katanya, bahan tak cepat terurai alam, dan buah impor banyak menggunakan bahan pengawet. “Saya ingin menunjukkan, kita memiliki buah-buahan alam dan ciri khas bangsa ini.”Ningroom Adiani dalam Tirai Penerang dalam Kegelapan Duniawi menampilkan karya kriya memakai bonggol jagung. Selama ini, bonggol jagung dianggap limbah. Di tangan Ningroom, bonggol jagung rapuh menjadi karya sarat makna.Karya lain berjudul In Oil We Trust, kreasi Pandu Mahendra. Sang seniman memanfaatkan jirigen minyak diberi kaki dan enam tangan. Tangan-tangan itu menggengam pistol, salib, tali, tasbih, dan kapak. Ada satu tangan dibiarkan kosong. Kedua kaki memakai sepatu boot. Keseluruhan karya dominan hitam dengan aksen kuning keemasan. Ada satu mata besar.Pandu lewat karya ini seperti hendak bercerita minyak adalah “Tuhan” baru, yang menjadi pusat pusaran konflik, politik, keyakinan, dan kepentingan. Minyak harus disikapi bijak.Ada juga tarian berjudul Selembar Daun Jatuh. Kiki Rahmatika, sang penari, mengatakan, gagasan ini berawal kesukaan mengamati daun-daun jatuh. Baginya, daun seperti manusia, akhirnya luruh, jatuh dalam pelukan alam. Dia seakan ingin menegaskan, manusia bagaimanapun tak terpisahkan dari alam. [SEP] | [0.01809711940586567, 0.9629115462303162, 0.01899130828678608] |
2015-042-19.json | Beginilah Antisipasi Ketergantungan Pangan Di Subak Kawasan Budaya Dunia | Beginilah Antisipasi Ketergantungan Pangan Di Subak Kawasan Budaya Dunia | [CLS] Pande Ketut Noling, petani berusia senja ini untuk kali pertama diajari menanam padi model model jajar legowo 2:1, cara baru meningkatkan produksi beras (system of rice intensification/SRI).Dalam menanam padi di 25 are lahan miliknya, ia mendadak belasan relawan program penanaman padi serentak seluas 10 hektar di Subak Pulagan, salah satu kawasan warisan budaya dunia (world heritage of subak landscape), Desa Tampaksiring, Gianyar, Bali, pada minggu kemarin yang dilaksanakan Bank Indonesia perwakilan Bali.Dengan dibantu 750 relawan antara laiin terdiri dari siswa SLTA polisi, tentara, PNS, penanaman padi selesai dalam 4 jam. “Seru sekali nanam padi, tapi sayang pakai rok. Repot sekali,” kata Dian Aryani dan rekannya, siswa berseragam pramuka dengan kaki dan lengan berlumuran lumpur.Sistem tanam legowo adalah pola bertanam yang berselang-seling antara dua atau lebih (biasanya dua atau empat) baris tanaman padi dan satu baris kosong. Istilah legowo di ambil dari bahasa jawa, yaitu berasal dari kata ”lego” berarti luas dan ”dowo” berarti memanjang.Baris lahan kosong dan memanjang ini disebut satu unit legowo, dimana legowo 2:1 berarti dua baris tanam per unit legowo, dan legowo 4:1 berarti empat baris tanam per unit legowo. Model tanam ini diyakini memberikan hasil panen lebih banyak karena kena sinar matahari lebih banyak. Sistem ini menggunakan lebih sedikit bibit, sehingga diyakini lebih hemat air dan pupukNoling dan petani lain umumnya memiliki lahan sempit 25 are, berharap uji coba cara baru ini menghasilkan panen lebih baik karena persoalan ketergantungan pangan dan peningkatan biaya pengolahan lahan.Noling bercerita, biaya tambahan dikarenakan anak mereka malas bertani, sehingga butuh sewa tenga seperti traktor untuk mengolah tanah, biaya pupuk, dan panen. Petani belum bisa sepenuhnya organik. | [0.01646406203508377, 0.9831623435020447, 0.00037361495196819305] |
2015-042-19.json | Beginilah Antisipasi Ketergantungan Pangan Di Subak Kawasan Budaya Dunia | Beginilah Antisipasi Ketergantungan Pangan Di Subak Kawasan Budaya Dunia | Hasil panen sekitar 1 ton, yang akan berkurang bila diselip. “Hanya untuk makan sendiri, kalau kurang beli,” sahut Noling. Ia mengaku tak pernah menjual hasil panen karena pas-pasan untuk konsumsi. Jika banyak ada upacara adat dan agama, sering membeli tambahan beras.Namun ia mengaku akan teguh menjaga tanah warisan leluhur ini. “Tidak akan pernah saya jual karena warisan leluhur,” katanya.Senada dengan Noling, Ketut Rauh, mengolah sendiri lahan seluas 30 are, bahkan sering mengupah orang untuk menggarap menanam bibit, dan memanen karena sudah renta. Ia juga tak pernah bisa menjual panennya karena malah sering kekurangan beras untuk makan dan keperluan upacara dan ritual seperti upacara pernikahan, kematian, kedewasaan, dan lainnya.“Tiap enam bulan sekali panen, hasilnya cuma bisa untuk makan 3 bulan,” kata Rauh. “Payah cari uang biaya Rp800 ribu untuk upah sawah. Masih sering beli beras juga,” kisah Rauh.Namun ia juga tak akan mau menjual lahan salah satunya karena sawah adalah sumber budaya dan ritual di Bali. “Kalau terus ada sawah ya masih ada upacara. Meyadnya ten pegat (persembahan pada alam tak akan putus),” katanya pelan.Sang Nyoman Astika, Pekaseh (pimpinan organisasi) Subak Pulagan mengatakan petani memang sulit mendapat penghasilan jika kepemilikan lahannya sedikit. Walau pemerintah dan pihak lain membantu bibit, menurutnya selama petani belum bisa memenuhi pangan dari lahan sendiri akan tetap miskin.Ia berharap sistem jajar legowo ini memang bisa meningkatkan hasil panen. “Kalau sekarang tanam biasa hasilnya 5-6 ton per hektar. Dengan sistem ini katanya bisa meningkat sampai 10 ton,” ujar pria yang mengkoordinir 110 hektar lahan padi ini. Menurutnya kepemilikan lahan sedikit rata-rata 25 are. Bisa dihitung yang punya lahan di atas setengah hektar. | [0.00033922979491762817, 0.9992603659629822, 0.0004004047659691423] |
2015-042-19.json | Beginilah Antisipasi Ketergantungan Pangan Di Subak Kawasan Budaya Dunia | Beginilah Antisipasi Ketergantungan Pangan Di Subak Kawasan Budaya Dunia | Untungnya karena petani masih sangat menghormati leluhur, menurut Astika mereka tak akan menjual lahannya. Walau kawasan subak ini di sekitar kawasan wisata, yakni Ubud dan Tegalalang yang diserbu industri wisata seperti hotel, restoran, dan villa.Agar makin menjauhkan dari alih fungsi lahan, pemerintah membuatkan jalan setapak di areal sawah agar lahan mudah diakses dengan roda 2 seperti motor dan sepeda. “Jalan gampang, petani mudah pulang,” kata Astika.Pria ini berharap petani bisa mendapat penghasilan dari panen. Ia mengaku sedang menyiapkan Bank Tani. Ia meyakini ketika petani tak bisa mencukupi kebutuhan pangannya tinggal menunggu alih fungsi lahan.Data BPS tahun 2010 memperlihatkan alih fungsi lahan sawah paling massif di Bali, sekitar 1000 hektar/tahun persawahan hilang pada 2005-2009, dengan 700 orang rumah tangga pertanian berkurang tiap bulan.UNESCO, Badan PBB untuk kebudayaan pada 2012 menetapkan sejumlah kawasan subak dan area pendukungnya di Tabanan, Badung, dan Gianyar sebagai warisan budaya dunia.Penetapan lanskap budaya Bali berbasis subak disebut sebagai manifestasi filosofi Tri Hita Karana (tiga sumber kesejahteraan) karena prinsip harmonisasi pada alam, Tuhan, dan manusia. Di satu pihak menimbulkan kebanggaan, di lain pihak dinilai melahirkan kegamangan.Kebanggaan karena penetapan UNESCOini merupakan pengakuan internasional atas prestasi Bali dalam mengukir peradaban pertanian dan penataan lanskap. Sementara kegamangan karena sejauh ini banyak muncul pertanyaan apakah bisa dipertahankan di masa depan. [SEP] | [0.00033922979491762817, 0.9992603659629822, 0.0004004047659691423] |
2019-040-08.json | Pulangkan Sampah Impor ke Negara Asalnya! | Pulangkan Sampah Impor ke Negara Asalnya! | [CLS] Setelah pengembalian lima kontainer sampah kertas bercampur plastik ke Amerika Serikat, Juni 2019, Bea Cukai Tanjung Perak, Surabaya segera memulangkan lagi delapan kontainer sampah kertas terkontaminasi plastik serta bahan berbahaya dan beracun [B3] ke Australia.Kepala Kantor Bea Cukai Tanjung Perak, Surabaya, Basuki Suryanto menuturkan, rekomendasi pemulangan telah dikeluarkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [KLHK]. Hanya menunggu waktu.“Rekomendasinya reekspor. Sampah kertas itu terbukti berbahaya, terkontaminasi limbah plastik dan sampah popok,” ungkap Basuki, di Surabaya [09/7/2019].Dalam pantauan di Terminal Petikemas Surabaya [TPS], tempat penitipan kontainer sampah impor, terlihat material lain selain sampah kertas asal Australia. Tidak hanya sampah plastik tapi juga popok bayi sekali pakai, bercampur tabloid dan majalah bekas terbitan Australia.“Sampah dari Amerika Serikat dan Jerman lainnya masih menunggu rekomendasi KLHK untuk dikembalikan. Tiga perusahaan sedang diperiksa,” ujarnya.Baca: Jawa Timur Pastikan Tangani Masalah Sampah Impor Basuki menuturkan, tidak semua kontainer sampah impor diperiksa Bea Cukai, karena selain masuk daftar jalur hujau, kontainer telah diperiksa di pelabuhan negara asal sampah. Kerja sama dengan Sucofindo atau Surveyor Indonesia. Yang dicurigai akan diperiksa langsung.Bea Cukai Tanjung Perak Surabaya memiliki catatan, ada 18 perusahaan terkait sampah kertas impor yang semuanya berhenti di Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya. Perusahaan yang terbukti memuat sampah plastik dan B3 sebagai ikutannya, punya waktu 90 hari sejak masuk Indonesia, untuk reekspor.“Sejauh ini hanya kena wajib mengembalikan. KLHK yang akan memutuskan, hukumannya ada di UU 32/2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup,” lanjutnya.Baca: Tidak Hanya Ganggu Kesehatan, Sampah Juga Merusak Lingkungan | [4.426556643011281e-06, 7.228185495478101e-06, 0.9999883770942688] |
2019-040-08.json | Pulangkan Sampah Impor ke Negara Asalnya! | Pulangkan Sampah Impor ke Negara Asalnya! | Basuki mengatakan, infomasi yang diperoleh dari Sucofindo menyebutkan, ada sekitar 10 hingga 12 ribu kontainer diimpor setiap bulan. Namun, sejak ramai pemberitaan sampah impor, pada Juni 2019, jumlahnya turun, 600 hingga 700 kontainer saja.“Adanya kejadian ini, import khusus sampah kertas berkurang. PT. PKR [inisial] pada Januari 109 dokumen, dan Juni tinggal 20 dokumen. PT. ADS, Januari 77 dokumen, sementara Juni turun jadi 23 dokumen. PT. KTK, Januari [130 dokumen], Februari [152 dokumen], Juni [87 dokumen], jadi banyak yang turun,” terangnya.Baca: Pemerintah Perlu Setop Dulu Izin Impor Sampah Protes aktivis Sejumlah aktivis lingkungan di Jawa Timur mendesak pemerintah menanganai sampah impor tegas dan serius, termasuk mengembalikan ke negara asalnya. Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah atau Ecoton, Prigi Arisandi mengatakan, Bea Cukai sebagai otoritas negara harusnya mengetahui konsisi ini semua. Selama ini sampah kertas impor masuk kategori jalur hijau, sehingga pemeriksaan dinilai formalitas saja.“Seharusnya ada SOP jelas, dari 1.000 kontainer, misalnya berapa persen yang diperiksa,” ungkapnya.Kementerian Perdagangan yang mengatur regulasi juga dinilai berandil lolosnya sampah plastik dan B3 bersamaan dengan sampah kertas sebagai bahan baku pabrik kertas.“Kementerian Perdagangan punya sendiri yang namanya Sucofindo, bagian inspeksi, Sucofindo dan Surveyor Indonesia. Justru mereka yang harusnya mengantisipasi,” jelasnya.Hanie Ismail dari Komunitas Nol Sampah juga mendorong pemerintah menerapkan aturan hukum tegas. Hanie meminta agar limbah B3 dan plastik tidak dibiarkan masuk Indonesia melalui sampah kertas.“Regulasi harus benar-benar diterapkan. Bukan hanya Bea Cukai, tapi yang impor harus ditindak. Kalau misalkan kertas ya kertas saja,” jelasnya.Baca juga: Tangani Sampah Impor, Pemerintah akan Kuatkan Regulasi dan Penegakan Hukum | [4.426556643011281e-06, 7.228185495478101e-06, 0.9999883770942688] |
2019-040-08.json | Pulangkan Sampah Impor ke Negara Asalnya! | Pulangkan Sampah Impor ke Negara Asalnya! | Jumat [12/7/2019] sore, puluhan aktivis lingkungan bersama warga Surabaya, Sidoarjo dan Gresik, berunjuk rasa di depan Konsulat Jenderal Amerika Serikat di Surabaya. Mereka menyerukan Amerika berhenti mengirim sampah plastik ke Indonesia.“Kami minta sampah dikembalikan ke Amerika. Kami tidak mau sampah dari luar membanjiri desa dan lingkungan kami,” kata Rully Mustika, peserta aksi.Mahasiswi asal Gresik, Sofi Azilan mengutarakan, tidak seharusnya negara maju seperti Amerika mengirim sampah ke Indonesia. “Harusnya negara maju yang penduduknya pintar-pintar, bisa mikir, mengerti, dampak sampah pada lingkungan dan terutama masyarakat. Amerika harusnya mampu mengatasi sampahnya sendiri dengan teknologi.”Tidak hanya berunjuk rasa dan menyerahkan tuntutan ke konsulat, pengunjuk rasa juga menyerahkan surat yang ditulis dua pelajar Jawa Timur kepada Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Isinya, meminta negera tersebut berhenti membuang sampah ke Indonesia. [SEP] | [0.9656471014022827, 0.017137303948402405, 0.017215635627508163] |
2020-035-20.json | Setelah Pantai Dibuka di Masa Pandemi | Setelah Pantai Dibuka di Masa Pandemi | [CLS] Seiring dibukanya objek wisata, pantai-pantai pun mulai ramai. Cuaca cerah pun mendukung rekreasi murah meriah dan menyegarkan ini.Salah satunya pantai di kawasan wisata termacet di Bali, Pantai Petitenget di Seminyak, Kuta. Setelah matahari naik dari kaki langit, puluhan tukik menetas secara alami dari sarangnya.Puluhan tukik berjenis penyu lekang ini tiba-tiba muncul dari pasir yang basah karena sapuan ombak. Anak-anak mengerumuni dan menonton iring-iringan tukik yang semangat menyongsong debur laut.Beberapa orang dewasa juga takjub, karena biasanya tukik menetas di area relokasi. Para telur penyu diambil dari sarangnya dan dipindahkan ke area penetasan. Area relokasi telur dan penetasan tukik ini ada di sejumlah pantai seperti Pantai Kuta, Sanur, Perancak, Saba, dan lainnya.Kini, pada suatu pagi di Pantai Petitenget yang baru dibuka, tukik ini merangkak dari sarang induknya. Tak perlu waktu lama bagi tukik mencapai bibir laut, energi mereka masih penuh. Aroma laut demikian dekat, langsung memenuhi kulit dan cangkang mungil mereka setelah menetas.baca : Geliat Petani Muda Bali di Tengah Pandemi COVID-19 [Bagian 1] Pantai ini terlihat dijaga sejumlah petugas keamanan, dari kepolisian maupun desa adat. Di pintu masuk, seorang petugas mengumumkan tata tertib di pantai termasuk siaga pada keamanan. Poster-poster untuk pakai masker, cuci tangan, dan jaga jarak terlihat mencolok. Dua bak tempat cuci tangan dipasang di sisi kiri dan kanan pintu gerbang khas arsitektur Bali ini.Sebuah pura yang berlokasi di pantai terlihat ramai. Puluhan warga yang sedang menghelat prosesi ritual di pura dalam kawasan pantai populer di Seminyak ini. Dekat muara sungai yang biasa disebut campuhan, salah satu kawasan suci dalam keyakinan Hindu di Bali. Di area inilah ritual penyucian melasti dilakukan jelang sejumlah upacara besar di desa atau jelang Nyepi. | [0.01646406203508377, 0.9831623435020447, 0.00037361495196819305] |
2020-035-20.json | Setelah Pantai Dibuka di Masa Pandemi | Setelah Pantai Dibuka di Masa Pandemi | Sungai yang bermuara di laut ini terlihat bersih tanpa genangan sampah anorganik seperti muara-muara lainnya. Warga desa setempat sedang menghelat upacara semacam syukuran untuk anaknya dan juga upacara Ngaben. Gamelan pengantar doa-doa ini lebur bersama suara ombak.Bagian terpenting adalah melarung sesajen ke laut dan mengusapkan air laut ke atas kepala. Memohon kekuatan dewa Baruna untuk ketenangan jiwa.Beberapa meter dari rombongan upacara agama ini, warga menyebar di pantai. Ada yang main voli pantai, bola, dan main ayunan yang dijadikan signage Pantai Petitenget.Di bibir laut, anak-anak bermain air, membuat kolam air dengan didampingi orangtuanya. Ombak cukup tinggi. Bahkan perahu yang membawa para pemancing pun beratraksi mengikuti melewati gelombang, mirip peselancar.Sempadan pantai terasa sangat lapang, lebarnya lebih dari 50 meter. Di sisi kanan menghadap pantai adalah barisan hotel dan beach club yang membuat Seminyak populer. Namun karena pandemi COVID-19, yang terlihat adalah hotel-hotel mewah yang sunyi. Hanya petugas keamanan yang lalu lalang berjaga di pinggir pantai.baca juga : Kawasan Konservasi dan Wisata Alam Bakal Buka Bertahap Pemandangan ramai juga terlihat di Pantai Sanur. Pantai Karang yang menjadi lokasi yoga terlihat riuh dengan aneka aktivitas. Paling mencolok adalah rombongan pesepeda yang lalu lalang di area jogging atau rehat di pinggir pantai bersama sepedanya.Gazebo atau balebengong ikonik di titik pemecah ombak di pantai ini juga penuh. Air laut saat itu terlihat keruh. Padang lamun mati mengambang di permukaan.Ramainya turis memicu produksi sampah. Tong-tong sampah yang sudah disediakan cukup banyak terlihat penuh. Untungnya tidak meluber. | [0.00033922979491762817, 0.9992603659629822, 0.0004004047659691423] |
2020-035-20.json | Setelah Pantai Dibuka di Masa Pandemi | Setelah Pantai Dibuka di Masa Pandemi | Keramaian juga nampak di Pantai Kedonganan, lokasi kampung nelayan dan pasar ikan di dekat Jimbaran. Warga memenuhi pasar ikan, membeli beragam hasil laut yang dijual persis samping pantai. Tak hanya warga Bali juga warga negara asing yang sudah terbiasa memilih dan membeli ikan di sini.“Ayo bu, ini fillet tuna yang biasanya dijual ke hotel,” seorang pedagang menyambut. Ia menawarkan cukup murah, Rp20 ribu per seperempat kilogram. Ikan potong berwarna merah muda ini sudah dibersihkan dan dibungkus plastik.Di luar pasar ikan, dagang juga memenuhi pantai. Ini pedagang yang tak memiliki kios di pasar. Di dalam pasar ikan, jenis proteinnya cukup kaya seperti kerang, kepiting, lobster, cumi, udang, dan lainnya. Sementara di pinggir pantai, lebih banyak ikan tongkol dan teri.perlu dibaca : Era Kenormalan Baru dan Prinsip Fundamental Ekowisata Kunjungan turis anjlokPemerintah Provinsi Bali sudah membuka obyek wisata dan menyambut turis domestik pada 31 Juli. Sementara untuk turis asing dijadwalkan 11 September ini.Tak sedikit regulasi yang dibuat Gubernur Bali untuk mendorong percepatan memulihkan kunjungan turis. Selain Pergub tentang Kawasan Pariwisata Bali, juga sejumlah seremonial bersama pejabat kementerian.Dalam Pergub Kawasan Pariwisata, disebutkan meliputi hotel atau jenis akomodasi lainnya, restoran atau rumah makan, dan daya tarik wisata. Dalam pengembangan kawasan pariwisata dilarang menggusur masyarakat adat, menutup akses masyarakat lokal, menguasai area publik, memindahkan sarana umum, dan merusak dan/atau mencemari alam dan lingkungan.Sejak akhir Januari 2020, Bali mulai mengalami dampak pandemi COVID-19. Jumlah turis terus menurun bahkan kemudian nyaris tidak ada setelah adanya penutupan penerbangan komersial maupun perhubungan darat dan laut, untuk mencegah meluasnya penularan virus corona baru penyebab COVID-19 di kiblat pariwisata Indonesia ini. | [0.999424159526825, 0.00028237837250344455, 0.000293476419756189] |
2020-035-20.json | Setelah Pantai Dibuka di Masa Pandemi | Setelah Pantai Dibuka di Masa Pandemi | Jumlah kunjungan wisatawan mancanegara anjlok dari 6,2 juta orang pada 2019 jadi 1 juta orang sampai Mei 2020 ini. Mengikuti kurva pandemi, kunjungan mulai menurun secara drastis pada Januari. Dari lebih dari 500 ribu orang menjadi hanya 36 orang pada Mei ini. Indonesia baru menyatakan secara resmi adanya kasus COVID-19 pada Maret dan kasus kematian pertama yang diumumkan pertama dari Bali menimpa warga negara Inggris.Ketergantungan pada industri pariwisata lagi-lagi beri pukulan telak pada Bali. Kali ini dampaknya jauh lebih panjang dan meluas dibanding Bom Bali pada 2002 dan 2005, dan erupsi Gunung Agung pada 2017-2018. Bila dibandingkan dengan bulan Mei 2019, jumlah wisman ke Bali tercatat turun hampir 100 persen. Gubernur Bali Wayan Koster pada berbagai kesempatan terlihat yakin Bali akan segera normal jika larangan kedatangan warga negara asing dicabut secepatnya. Hal ini ia sampaikan pada seremonial penyambutan wisatawan domestik di Nusa Dua pada 30 Juli yang dihadiri Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi dan Menteri Pariwisata-Ekonomi Kreatif.Pembukaan aktivitas harus segera dilaksanakan agar pariwisata tak terus terpuruk. Tahap pertama dimulai dengan pembukaan tempat publik pada 9 Juli. “Pandemi ini penanda ketidakharmonisan alam akibat ulah manusia yang tak melaksanakan tata kehidupan berbasis kearifan lokal,” sebut Koster saat deklarasi Tatanan Kehidupan Era Bali di Pura Besakih. [SEP] | [0.9994583129882812, 0.00028047917294315994, 0.0002612548996694386] |
2014-041-14.json | Laut Makin Asam, Ikan Makin Berkurang | Laut Makin Asam, Ikan Makin Berkurang | [CLS] Lautan sangat penting untuk produksi makanan berbasis perikanan dan budidaya. Tetapi kemampuan laut untuk menyediakan makanan bagi manusia ini sensitif terhadap perubahan iklim dan pengasaman laut.Di seluruh dunia, sektor perikanan memenuhi kebutuhan tiga miliar orang, atau sekitar 20 persen dari asupan rata-rata protein hewan. Kondisi terkini laut membuat 400 juta orang yang bergantung pada ikan sebagai makanan menjadi kritis. Akan tetapi permintaan ikan cenderung meningkat karena jumlah penduduk global meningkat dan kondisi ekonominya menjadi lebih makmur.Hal tersebut merupakan kesimpulan dari laporan terbaru Assessment Report kelima (AR5) dari Panel Antar Pemerintah untuk Perubahan Iklim (Intergovernmental Panel on Climate Change) yang dipresentasikan pada Konferensi Perubahan Iklim di Bonn, Jerman pada pertengahan Juni 2014.Koordinator Divisi Peningkatan Kapasitas Riset dan Pengembangan di Sekretariat Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI), Agus Supangat yang mengikuti presentasi tersebut menjelaskan perubahan iklim mempengaruhi sifat fisik dan kimia laut, yang mempengaruhi dan mengubah sifat biologis organisme laut.Secara khusus, perubahan suhu dan kadar oksigen laut berdampak pada migrasi, pemijahan dan pola makan, serta migrasi dan pola distribusi dari ikan dan kerang-kerangan. Secara tidak langsung, ikan dan kerang-kerangan dipengaruhi oleh perubahan produksi primer karena efek langsung dari pengaruh iklim pada fitoplankton.Agus yang juga peneliti di Kementerian Kelautan dan Perikanan itu mengatakan perubahan fisik dan kimia laut menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati laut. Semakin asamnya laut juga mempengaruhi pertumbuhan karang dan meningkatkan resiko hidup terumbu karang. Mengikuti hukum rantai makanan, kondisi terumbu karang akan mempengaruhi ikan dan hewan laut lainnya. Dilaporkan kulit atau tempurung moluska pun menipis. | [4.426556643011281e-06, 7.228185495478101e-06, 0.9999883770942688] |
2014-041-14.json | Laut Makin Asam, Ikan Makin Berkurang | Laut Makin Asam, Ikan Makin Berkurang | Budidaya perikanan juga terpengaruh oleh berkurangnya jumlah pakan ikan (feed-fish) karena upwelling air asam mempengaruhi pertumbuhan kerang, dan peningkatan risiko banjir untuk area pertambakan di daerah tropis.Perubahan iklim juga meningkatkan resiko kepunahan dari sejumlah besar spesies pesisir dalam beberapa dekade mendatang. Kepunahan spesies tersebut terutama modifikasi habitat, eksploitasi berlebihan dan polusi.Kerugian PerikananIPCC memperkirakan pada tahun 2050, perikanan tangkap akan mengalami kerugian akibat perubahan iklim berkisar antara USD 17 sampai 41 miliar, berdasarkan skenario pemanasan global pada 2 derajat celcius. Kerugian tertinggi kemungkinan terjadi di Asia Timur dan Pasifik. Sedangkan pengasaman laut diproyeksikan mendorong penurunan produksi kerang-kerangan global antara tahun 2020 dan 2060.Hal itu juga meningkatkan potensi penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan dan tidak sesuai aturan (illegal, unreported and unregulated / IUU fishing) dari perubahan sumber daya pesisir dan meningkatnya kerawanan pangan.IUU Fishing akan memicu ledakan pertumbuhan alga (algal bloom) yang mengancam ekosistem dan perikanan dan berkontribusi terhadap peningkatan jumlah ‘zona mati’ di laut.IPCC menjelaskan tingkat produksi makanan laut akan berubah, dimana tingkat produksi akan menurun di daerah tropis dan justru meningkat pada daerah sub tropis.Menghadapi hal tersebut, adaptasi bisa dilakukan untuk beberapa kasus, tetapi sangat sulit dalam kasus yang lain. IPCC memperkirakan biaya total adaptasi untuk perikanan global 2010-2050 hingga USD 30 miliar per tahun.Nelayan dapat beradaptasi dengan beberapa dampak iklim, dengan cara antara lain mengurangi tekanan non-iklim seperti polusi, mengubah pola tangkapan, peralatan atau target spesies, meningkatkan akuakultur, dan ubah ke kebijakan manajemen yang dinamis. | [0.9656471014022827, 0.017137303948402405, 0.017215635627508163] |
2014-041-14.json | Laut Makin Asam, Ikan Makin Berkurang | Laut Makin Asam, Ikan Makin Berkurang | Sebagai sistem yang dinamis, lautan akan terus merespon perubahan masa lalu dan saat ini di iklim dunia. Perubahan seluas samudra dalam ekosistem yang sudah terjadi dan yang diproyeksikan berakselerasi 2050 dan seterusnya.Perubahan tersebut memiliki implikasi untuk manajemen perikanan, keberlanjutan, keamanan pangan, dan peningkatan pendapatan, terutama di lintang rendah (daerah tropis) dan kecil negara pulau-pulau kecil. Perubahan sistem laut ini akan terus terjadi selama berabad-abad. [SEP] | [4.426556643011281e-06, 7.228185495478101e-06, 0.9999883770942688] |
2021-014-10.json | Ucu Suherman, Gerbang Kearifan Lokal Kampung Naga | Ucu Suherman, Gerbang Kearifan Lokal Kampung Naga | [CLS] Kampung adat tradisional Naga di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, telah mengupayakan pelestarian hutan di Daerah Aliran Sungai Ciwulan secara turun temurun. Mereka yang kerap dinilai terbelakang, agaknya kini dipandang sebagai dambaan kehidupan bagi manusia modern.Dibalik rumah-rumah beratap ijuk berwarna hitam keabu-abuan yang begitu khas menandai kompleks Kampung Naga tersirat falsafah hidup yang menyelamatkan banyak manusia. Padahal, sekitar 50 tahun lalu tak sembarang orang dapat mengunjungi kampung yang berlokasi di pinggir jalan Tasikmalaya-Garut itu.Seiring perkembangan zaman, warga Kampung Naga memaklumi bahwa ketertarikan orang luar tidak bisa dilarang. Hingga mereka pun memberikan izin kunjungan secara terbatas kepada orang asing masuk ke wilayah adat. Batasan dimaksudkan sebagai perlindungan terhadap kearifan lokal serta adat istiadat yang telah diwariskan leluhur mereka.Dan kepatuhan mereka terhadap budaya, agaknya, menjadi magnet bagi wisatawan lokal maupun luar negeri. Ada yang ingin sekadar berwisata, ada juga terang-terangan ingin belajar tentang konsep hidup tradisional.baca : Menikmati Jeda di Kampung Naga Ucu Suherlan (55) masih ingat pesan bapaknya, mendiang Djadja Sutidja yang pernah menjadi kuncen Kampung Naga. Almarhum bapaknya kala itu mengatakan, minat orang luar, terutama orang asing, terhadap budaya Naga susah dibendung. Maka, butuh kesiapan pola dan penyampaian komunikasi yang benar dan santun.Maka salah satu yang harus disiapkan adalah kemampuan berbahasa Inggris untuk melancarkan komunikasi antara warga setempat dan turis pendatang. Alasannya, Bahasa Inggris dinilai sebagai bahasa universal yang digunakan banyak suku bangsa di dunia.“Adat tak melarang warganya untuk belajar maupun bersekolah. Justru diwajibkan karena bisa menjebatani wisatawan paham pola kehidupan masyarakat Kampung Naga,” kata Ucu ditemui beberapa waktu lalu. | [0.0002839576918631792, 0.980250358581543, 0.019465679302811623] |
2021-014-10.json | Ucu Suherman, Gerbang Kearifan Lokal Kampung Naga | Ucu Suherman, Gerbang Kearifan Lokal Kampung Naga | Tuntas sarjana di Jakarta, Ucu pulang. Lalu menemukan kenyataan bahwa banyak wisatawan asing memang datang untuk mengunjungi Kampung Naga. Keteguhan masyarakat adat Kampung Naga menjaga hutan, sumber air, dan hidup dalam kesederhanaan adalah daya tariknya, kata Ucu.baca juga : Kampung Naga, Oase Tradisi di Tengah Derap Kehidupan Modern Maka, kemampuan berkomunikasi dalam bahasa Inggris dengan turis diyakini bakal berdampak positif bagi warga. Apalagi, selama ini, sebagian besar wisatawan asing berasal dari Jerman dan Belanda. Hal ini terkait dengan minat perjalanan warga Jerman ke negara lain yang tercatat paling tinggi daripada negara Eropa lainnya.Ucu ambil peran. Dia kemudian mengajarkan berbahasa, mengajak pemandu wisatawan asli Kampung Naga untuk belajar menjadi tukang cerita. Katanya, penyampaian seperti mendongeng membikin informasi mudah ditangkapNyaris disetiap generasi asli Kampung Naga, mahir bercerita dan berbahasa Inggris. Banyak juga yang telah lulusan sarjana. Bahkan ada yang mengambil sastra Belanda.Ucu mafhum, para turis umumnya ingin menikmati kehidupan adat tradisional yang serasi dengan keaslian alam nun di perbukitan dan hulu sungai. Karena menurut mereka itu merupakan hidup yang konvensional: bisa nyaman oleh kepatuhan.Posisi rumah menghadap dua arah, ke selatan dan utara. Bentuk atap semuanya dua arah, tidak boleh ada yang tiga arah juga memantik para akademisi melakukan penelitian. Hasilnya, keistimewaan dari bangunan itu adalah tahan gempa.perlu dibaca : Konsep Lestarikan Alam dalam Adat Kampung Kuta Menjaga GerbangPerjuangan Ucu Suherlin mempertahankan adat dan budaya warisan leluhurnya tak ubahnya perjuangan nelayan kecil yang berada di tengah badai di lautan lepas. Dalam keadaan diombang-ambing gelombang, dia diajarkan harus tetap kukuh tidak mengalihkan perhatiannya. | [0.9656471014022827, 0.017137303948402405, 0.017215635627508163] |
2021-014-10.json | Ucu Suherman, Gerbang Kearifan Lokal Kampung Naga | Ucu Suherman, Gerbang Kearifan Lokal Kampung Naga | Dia menuturkan pernah mendapat berbagai tawaran. Barangkali bagi orang luar Naga pasti menggiurkan. Pernah ditawari eskalator untuk dipasang di jalan masuk ke Kampung Naga agar para pengunjung tidak mengalami kesulitan karena harus melewati jalan terjal.“Tetapi kami teguh menolak. Karena kami bukan tempat wisata komersil,” imbuh Ucu. Dengan dahi mengkerut, Ucu menanyakan, bila Kampung Naga dijadikan obyek wisata, keuangan penduduk akan membaik. “Tapi apa gunanya uang, jika adat-istiadat rusak?” dia menimpali.Warga Kampung Naga juga pernah ditawari listrik agar pada malam hari daerahnya terang benderang. Namun, semua tawaran itu ditampik. Itu bukan berarti warga Kampung Naga menolak kemajuan. Hanya saja, kemajuan jangan sampai menghilangkan ciri utama. Agaknya, namanya bukan Kampung Naga lagi jika itu diterima.Ucu tahu, titah Kuncen Naga (Ketua adat) yang diamanahkan kepadanya berat. Yang paling berat, katanya, menjaga sekaligus membentengi adat warisan leluhur dari pengaruh luar. Apalagi, Kampung Naga merupakan kampung adat yang terbuka.“Kami tak pernah membedakan pengunjung, baik agama, suku bangsa, atau asal mereka,” katanya. Asalkan, “Mereka menghormati karena Kami mempunyai falsafah hidup,” ujar Ucu memberi penjelasan. Falsafah itu: Teu Saba, Teu Soba. Teu Banda, Teu Boga. Teu Weduk, Teu Bedas. Teu Gagah, Teu Pinter (Warga Naga dianjurkan menjauhi kehidupan harta dan tidak merasa lebih dari yang lain)baca juga : Menjaga Rimbo Larangan, Merawat Sumber Pangan Nagari Paru Budaya LingkunganOrang Naga dikenal memiliki kearifan yang melestarikan lingkungan hidupnya. Ditengah isu lingkungan yang makin rusak. Mereka prihatin. Bagi warga Kampung Naga, hutan merupakan bagian dari ekosistem mereka. Menjaga dan dipertahankan kelestariannya adalah titah yang “memaksa” untuk dijalankan. | [0.9656471014022827, 0.017137303948402405, 0.017215635627508163] |
2021-014-10.json | Ucu Suherman, Gerbang Kearifan Lokal Kampung Naga | Ucu Suherman, Gerbang Kearifan Lokal Kampung Naga | Di sana ada yang disebut leuweung larangan yang artinya sama dengan hutan lindung. Walaupun tidak dijaga secara fisik, kondisi hutan tersebut masih tetap utuh. Keadaan ini sungguh menyindir penjarahan yang mengakibatkan kerusakan hutan di Jawa Barat.Jangankan menjarah isi hutan. Menemukan ranting yang jatuh sekalipun, mereka tak berani mengambilnya. Sebab mengganggu tanaman yang tumbuh dianggap tabu. Jika hal itu dilanggar, yang bersangkutan akan menerima sanksi dari leluhurnya. Karena itu, walaupun tidak dijaga secara fisik, hutan di Kampung Naga tetap utuh. Justru, kata Ucu, hutan yang rusak yaitu hutan yang ada penjaganya.Kebudayaan memang selalu berubah. Seiring perubahan yang berkembang pada manusia dan lingkungannya. Maka, adat Naga membentengi agar manusia tetap memiliki kemanusiaan.Karena masih mempertahankan adat, sepintas kondisi sosial ekonomi seakan lebih rendah dibandingkan dengan penduduk kampung sekitarnya. Padahal, kalau dilihat dari sisi lain, penduduk Naga hidup mandiri, kreatif, dan pantang minta-minta. Selain pertanian, untuk penghidupan, mereka membuat berbagai kerajinan dari bambu. Matematika mereka mengamini bahwa banyak belum tentu cukup, sedikit belum tentu kurang. Budaya membentuk karakter Warga Kampung Naga. Seandainya gerombolan pemberontak DI/TII Karto Suwiryo tidak membakar habis Kampung Naga beserta seluruh isinya termasuk benda- benda sakral dan senjata adat tahun 1956 lalu, mungkin sejarah kampung itu akan terkuak. Semisal, arti nama Naga itu sendiri.“Setelah itu kami mengalami istilahnya “pareum obor” atau kehilangan penerangan yang menjelaskan asal-usul kampung adat ini,” ucap Ucu.Ucu percaya bahwa ilmu tidak akan merepotkan ketika dibawa kemana-mana. Semakin banyak ilmu yang didapatkan, akan semakin terang jiwa dan perilaku seorang manusia. | [0.9656471014022827, 0.017137303948402405, 0.017215635627508163] |
2021-014-10.json | Ucu Suherman, Gerbang Kearifan Lokal Kampung Naga | Ucu Suherman, Gerbang Kearifan Lokal Kampung Naga | Saat ini, Ucu berupaya mengembalikan 10 dari 20 benih padi lokal yang punah setelah revolusi hijau. Mereka sebenarnya tergolong warga sangat patuh, seperti tercermin dalam falsafah yang dianutnya: “Panyauran gancang temonan, pamundut gancang caosan, parentah gancang lakonan”. Artinya, undangan cepat datangi, permintaan cepat penuhi, dan perintah cepat laksanakan.Namun kadang kepatuhan mereka kerap disia-siakan. Sehingga Ucu berkeinginan memulihkan kembali yang sudah hilang. Selain sebagai bentuk kearifan lokal, penggunaan benih itu juga untuk melestarikan tradisi setempat.Ketaatan pada adat jugalah yang membuat mereka konsisten. Punya filosofi “ngaula karatu tumut kajaman” yang berarti mengikuti dinamika perubahan jaman yang berlangsung membuat Kampung Naga diganjar penghargaan Green Gold kategori Pelestarian Budaya Lingkungan dari Kementerian Pariwisata dan Indonesia Suistainable Tourism Awards (ISTA) Festival 2019 lalu. [SEP] | [0.0002839576918631792, 0.980250358581543, 0.019465679302811623] |
2018-068-20.json | Hutan Mangrove di Aceh Tamiang Rusak, Begini Kondisinya | Hutan Mangrove di Aceh Tamiang Rusak, Begini Kondisinya | [CLS] Aceh Tamiang merupakan kabupaten di Provinsi Aceh yang memiliki hutan mangrove luas. Namun, hutan di pesisir timur Aceh tersebut rusak, akibat berbagai kegiatan ilegal.Dalam SK Menteri Kehutanan Nomor SK.103/MenLHK-II/2015 tanggal 2 April 2015 tentang Perubahan atas Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.865/Menhut-II/2014 tanggal 29 September 2014 mengenai Kawasan Hutan dan Konservasi Perairan Provinsi Aceh disebutkan, luas hutan pesisir mangrove di Kabupaten Aceh Tamiang adalah 24.013,5 hektar.“Dari luasan tersebut, 18.904,26 hektar berupa hutan produksi, sementara 5.109,24 hektar berstatus hutan lindung,” jelas Direktur Eksekutif Walhi Aceh, Muhammad Nur, Senin (12/3/2018).Muhammad Nur menambahkan, hutan mangrove yang keseluruhan tersebar di Kecamatan Seuruway, Bendahara, Banda Mulia, serta Manyak Payed itu, sekitar 85 persen dalam kondisi rusak akibat dirambah. Kayunya dijadikan bahan baku arang. Meski begitu ada juga yang menebang mangrove untuk dijadikan tambak atau kebun sawit.“Perambahan yang dilakukan masyarakat, sebagian besar dibiayai pemilik dapur arang, yang jumlahnya lebih 200 unit. Secara umum, dapur tersebut diindikasikan tidak memiliki izin,” terangnya.Baca: Penting Bagi Kehidupan, Harusnya Mangrove Tidak Dirusak Rusaknya mangrove, selain menimbulkan abrasi pantai dan sungai, juga akan mengganggu keseimbangan ekosistem pesisir. Walhi Aceh berharap, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aceh segera melakukan penertiban dan merehabilitasi kawasan yang rusak.Pemerintah Aceh Tamiang dan Pemerintah Provinsi Aceh juga harus memfasilitasi ekonomi alternatif kepada masyarakat, yang selama ini bergantung hidup pada kegiatan ilegal tersebut. “Salah satu yang bisa dilakukan adalah dengan memfasilitasi pembentukan perhutanan sosial,” ungkapnya. | [0.999424159526825, 0.00028237837250344455, 0.000293476419756189] |
2018-068-20.json | Hutan Mangrove di Aceh Tamiang Rusak, Begini Kondisinya | Hutan Mangrove di Aceh Tamiang Rusak, Begini Kondisinya | Masyarakat Aceh Tamiang, Khairul Azmi mengatakan, sejak hutan mangrove di Aceh Tamiang rusak, tangkapan ikan nelayan tradisional juga menurun. “Begitu juga dengan kepiting bakau yang mulai sulit didapat padahal harganya lumayan mahal. Hal yang sama juga dengan udang yang perlahan menghilang.”Khairul Azmi mengatakan, jika hal ini terus terjadi, banyak masyarakat yang akan kehilangan mata pencaharian dan menambah angka kemiskinan di Aceh Tamiang.“Pengrusakan hutan mangrove di Aceh Tamiang hanya menguntungkan segelintir orang. Baiknya, hutan ini dijaga sehingga masyarakat dapat terus menikmati hasil tangkapan ikan, udang dan kepiting,” ujarnya. Perhatian seriusHusaini dari Yayasan Sheep Indonesia (YSI) Wilayah Aceh menyebutkan hal yang sama. Menurut dia, kerusakan ini harus ada perhatian serius dari pemerintah. “Dampak buruk dari rusaknya hutan mangrove adalah hilangnya biota mangrove seperti kepiting dan udang serta ikan yang merupakan tangkapan nelayan tradisional. Meningkatnya intrusi air laut ke daratan bakal membuat air sumur masyarakat menjadi payau, tidak bisa digunakan sebagai air minum.”Padahal, jika mangrove tidak dirusak, atau hutan dipertahankan, kondisi tersebut akan menguntungkan masyarakat. Juga, mendatangkan pendapatan untuk daerah. “Misalnya hutan mangrove ini dijadikan sebagai tempat wisata. Ini, sebagaimana yang dilakukan Pemerintah Kota Langsa, mengembangkan ekowisata hutan mangrove, yang bertetangga dengan Kabupaten Aceh Tamiang,” terangnya.Ini momentum yang tepat bagi Pemerintah Aceh Tamiang untuk memasukkan rencana pengelolaan hutan mangrove sebagai prioritas pembangunan. Pemerintah Aceh Tamiang, saat ini tengah menyusun revisi qanun atau perda tentang RPJM Daerah dan Qanun RTRW Daerah. “Kajian lingkungan hidup strategis kedua qanun tersebut juga dalam penyusunan, jadi ini kondisi ideal,” jelasnya. | [0.00033922979491762817, 0.9992603659629822, 0.0004004047659691423] |
2018-068-20.json | Hutan Mangrove di Aceh Tamiang Rusak, Begini Kondisinya | Hutan Mangrove di Aceh Tamiang Rusak, Begini Kondisinya | Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Aceh, Saminuddin B Tau mengakui, saat ini tutupan hutan mangrove di Aceh Tamiang terus berkurang akibat kegiatan ilegal. “Hutan mangrove di Aceh Tamiang tersisa sekitar 40 persen. Meskipun tutupan hutannya menurun, namun statusnya sebagai kawasan hutan tidak berubah.”Saminuddin menyebutkan, selain berubah fungsi menjadi kebun kelapa sawit dan areal tambak, hutan mangrove di Aceh Tamiang juga berkurang akibat penebangan liar untuk bahan baku arang.“Dapur arang ini sulit dihentikan karena melibatkan banyak pihak termasuk dari luar Aceh. Ada oknum aparat dari Medan, Sumatera Utara, yang sudah sangat dikenal oleh petugas kehutanan sebagai backing kegiatan pengiriman arang dari Aceh Tamiang ke Sumatera Utara. Saat ini sedang dicarikan solusi menghentikannya,” tuturnya. Saminuddin menambahkan, untuk memperbaiki hutan mangrove di Aceh Tamian yang rusak, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aceh sedang bekerja sama dengan lembaga non-pemerintah menyusun rencana perbaikan guna mengembalikan kembali fungsinya.“Kita akan merehabilitasi hutan yang rusak dan sedang mencari solusi terbaik agar perambahan dan kegiatan ilegal tidak lagi terjadi,” tandasnya. [SEP] | [0.999424159526825, 0.00028237837250344455, 0.000293476419756189] |
2013-003-02.json | Update: Pemprov Akui Penggusuran Suku Anak Dalam Adalah Upaya Penertiban | Update: Pemprov Akui Penggusuran Suku Anak Dalam Adalah Upaya Penertiban | [CLS] Kepala Biro Ekonomi dan Pembangunan (Karo Ekbang) Pemerintah Provinsi Jambi, Henrizal secara mengagetkan mengakui bahwa tindakan penggusuran adalah bagian dari upaya penertiban yang dilakukan Tim Terpadu bentukan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Batanghari. Penggusuran dilakukan karena Kelompok Acil sebanyak 30 orang sudah menerima ganti rugi lahan dan bersedia rumahnya digusur.Pernyataan Henrizal itu disampaikan ketika menerima 15 orang perwakilan Kelompok Suku Anak Dalam (SAD) Bathin Sembilan 113, pada 16 Desember 2013 lalu. Perwakilan SAD antara lain Rukaiyah Rofiq, Feri Irawan, Nurlela, Idris serta Ketua Adat SAD Bathin Sembilan, Abunyani.Pada 12 Desember 2013 lalu, juru bicara Tim Terpadu, AKBP Robert A. Sormin kepada Mongabay-Indonesia membantah jika pelaku penggusuran adalah Tim Terpadu. “Kita juga kaget dapat kabar ini. Tim Terpadu tak pernah melakukan penggusuran. Tim Terpadu itu tugasnya menertibkan. Tindakan penggusuran murni dilakukan perusahaan. Kami tidak ikut serta. Sambil menunggu penyelesaian, kami akan meminta perusahaan untuk sementara menghentikan tindakan tersebut,” ujarnya.Pernyataan Henrizal tersebut langsung dikecam para perwakilan Kelompok SAD Bathin Sembilan 113. Rukaiyah Rofiq mengatakan kalaupun benar kelompok Acil telah menerima ganti rugi bukan berarti menjadi pembenaran untuk melakukan penggusuran dengan mengatasnamakan penertiban. “Acil bukan bagian dari kelompok SAD 113 ini,” ujarnya.Menurut Rukaiyah, berdasarkan kesepakatan sebelumnya, seluruh warga Kelompok SAD 113 diperbolehkan tinggal dan berumah di lokasi HGU PT Asiatic Persada. “Jadi perusahaan ataupun tim terpadu tidak berhak menggusur rumah warga selama konflik lahan belum terselesaikan. Warga SAD juga sudah mengikuti pertemuan di Lembaga Adat Batanghari tiga hari yang lalu namun belum juga mencapai solusi yang dapat diterima semua pihak,” kata Rukaiyah. | [0.9994334578514099, 0.0002822732785716653, 0.0002842268440872431] |
2013-003-02.json | Update: Pemprov Akui Penggusuran Suku Anak Dalam Adalah Upaya Penertiban | Update: Pemprov Akui Penggusuran Suku Anak Dalam Adalah Upaya Penertiban | Abunyani berharap agar kerusakan akibat penggusuran itu diganti rugi. “Kami minta agar Gubernur Jambi benar-benar mengecek ke lokasi. Hanya 50 persen yang datang ke sini, sisanya kocar-kacir entah ke mana. Kami jangan digusur lagi, kami manusia bukan binatang,” katanya.Ajakan turun ke lokasi ditolak oleh Henrizal. Dia menyarankan agar persoalan ini cukup diselesaikan di tingkat Kabupaten Batanghari melalui pertemuan di Lembaga Adat Batanghari bersama Tim Terpadu.Feri Irawan dari Perkumpulan Hijau meminta pertanggung jawaban moral atas hak hidup SAD agar dikembalikan seperti semula. “Pemerintah Provinsi Jambi sudah kehilangan nilai-nilai kemanusiaan. Mereka hanya mengedepankan persoalan prosedur sehingga solusi melalui mediasi tak pernah tercapai kata sepakat,” katanya.Tim Terpadu, kata Feri, juga telah memperkeruh suasana dengan membikin konflik baru yaitu menggusur dan menjarah mengatasnamakan penertiban. Ajakan kami agar sama-sama turun mengecek lokasi dan menaksir berapa kerugian yang diderita warga SAD, ditolak mereka. Pihak Pemerintah justru melempar tanggung jawab kepada tim terpadu yang jelas-jelas telah melanggar hak asasi manusia,” ujar Feri.Masih MencekamTindakan penggusuran dilakukan sejak 7 Desember 2013 lalu. Tercatat ada 296 rumah yang telah digusur sekaligus dijarah. Di Dusun Padang Salak ada 31 rumah, Dusun Terawang 6 rumah, Pinang Tinggi 109 dan diperkirakan 150 rumah hancur dari total 600 rumah di Dusun Tanah Menang. Keempat Dusun ini berada di Desa Bungku, Kecamatan Bajubang, Kabupaten Batanghari, Jambi. | [0.9656471014022827, 0.017137303948402405, 0.017215635627508163] |
2013-003-02.json | Update: Pemprov Akui Penggusuran Suku Anak Dalam Adalah Upaya Penertiban | Update: Pemprov Akui Penggusuran Suku Anak Dalam Adalah Upaya Penertiban | Terhitung sejak 12 Desember 2013, hingga kemarin pagi (16 Desember) sekitar 500 orang warga SAD menginap di Pendopo Kantor Gubernur Jambi. Sorenya, sebagian besar memilih pulang dulu mencari pinjaman uang agar keesokan harinya bisa kembali menginap di pendopo. “Jika dalam satu-dua hari ini belum ada kejelasan, kami akan menginap berbulan-bulan dengan memasang tenda di depan rumah dinas Gubernur Jambi,” kata Feri.“Kami sudah kehabisan uang. Kami serba bingung, mau pulang tak punya uang. Mau menginap di sini juga pas-pasan. Sebagian nekat pulang dan berusaha mencari pinjaman,” kata Abi, 25 tahun, warga SAD Pinang Tinggi kepada Mongabay Indonesia. Setiap hari Abi mengonsumsi dua hingga tiga pil bodrex agar tidak jatuh sakit.Selama menginap di pendopo, setiap hari warga mengonsumsi lauk pauk seadanya: nasi putih plus ikan asin dan cabe. “Siapa yang masih punya uang ya iuran buat beli masak lauk pauk seadanya,” kata Erdi, 28 tahun, warga SAD Pinang Tinggi kepada Mongabay Indonesia.Menurut Abi, situasi di lokasi penggusuran masih mencekam. Puluhan anggota TNI dan Brimob masih berkeliaran di lokasi tersebut. Warga SAD tak berani mendekat padahal sebagian besar barang-barang mereka masih tertinggal di sana. Apalagi lima hari yang lalu, salah seorang warga SAD dari Pinang Tinggi bernama Kenyol, 25 tahun dikeroyok 4 orang anggota Brimob.Sore itu, Kenyol bermaksud mencari ayam peliharaannya Sialnya, Kenyol bertemu dengan empat orang anggota Brimob. Kenyol sempat diinterogasi. Setelah itu, dia dipukuli hingga mengalami luka memar di bagian rusuk dan punggung sebelah kanan. Kenyol berhasil kabur sambil membawa sepeda motornya. Dia menolak diajak menginap di Jambi karena takut. “Orangtuanya juga tak mengizinkan Kenyol berangkat. Alasannya, tak ada yang menjamin keselamatan Kenyol,” kata Abi. [SEP] | [0.01646406203508377, 0.9831623435020447, 0.00037361495196819305] |
2014-050-18.json | Pasca Pemilu, Jatam Kaltim Kembali Rilis Nama Caleg Pro-Tambang | Pasca Pemilu, Jatam Kaltim Kembali Rilis Nama Caleg Pro-Tambang | [CLS] Meski Pemilu legislatif telah usai namun beberapa waktu lalu Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim bersama dua lembaga pegiat lingkungan lain, Naladwipa Institute dan Posko Pengaduan Kasus Korupsi SDA, merilis sejumlah nama calon legislatif dan partai politik yang dianggap pro pengerukan batubara di Kaltim.Dengan rilis ini, para caleg yang saat ini masih dalam proses perhitungan Komisi Pemilihan Umum Kaltim, diharap tidak terpilih menjadi anggota dewan dan Jatam berharap masyarakat dapat mengetahui bila calon-calon tersebut terpilih, maka mereka merupakan pejabat yang pro terhadap pengerukan batubara“Kami tidak bilang untuk jangan memilih mereka (caleg dan parpol yang dianggap pro pengerukan batubara). Tetapi, sebelum memilih, masyarakat perlu tahu track record yang dipilihnya. Dan kami merekomendasikan pilihlah caleg dan parpol yang pro lingkungan,” kata Abdullah Naem, juru bicara ketiga lembaga pegiat lingkungan itu kepada wartawan di kafe D’orange Samarinda, beberapa minggu lalu. Mereka tergabung dalam Koalisi Rembug Rakyat untuk Kelestarian Lingkungan.Ia menjelaskan, politik pengerukan sumberdaya alam menjadi pembiayaan utama parpol. Sekitar 31 persen wilayah Kaltim dikuasai 1.488 IUP yang diterbitkan para bupati dan walikota. Izin sebanyak itu telah mengkapling 5,6 juta ha daratan dan 1,8 juta ha (33 konsesi yang izinnya diterbitkan Pusat). Total 7,2 juta ha di Kaltim.Pengerukan batubara besar-besaran telah mengakibatkan kerusakan lingkungan. Salah satunya banjir di Samarinda, di mana titiknya terus meluas. Dari 29 titik menjadi 35 titik. Sebanyak 10.204 KK di empat kecamatan di Samarinda menjadi langganan banjir. Enam anak bahkan tewas tenggelam di kolam bekas lubang tambang tahun 2011-2013. | [0.9999932646751404, 3.4551642329461174e-06, 3.3377132240275387e-06] |
2014-050-18.json | Pasca Pemilu, Jatam Kaltim Kembali Rilis Nama Caleg Pro-Tambang | Pasca Pemilu, Jatam Kaltim Kembali Rilis Nama Caleg Pro-Tambang | “Jika terpilih. maka mereka adalah orang-orang yang mewakili industri kotor batubara dan hanya melanjutkan krisis lingkungan terus menerus,” jelas Naim. Di Desa Kertabuana, Kabupaten Kutai Kartanegara, lumpur akibat penambangan batubara telah membuat produksi padi turun hingga 50 persen.Dinamisator Jatam Kaltim Merah Johansyah mengatakan ada sekitar 18 nama caleg dan parpol yang dianggap pro pengerukan batubara. Mantan walikota Samarinda Achmad Amins misalnya, selama dua periode menjadi Walikota Samarinda (2000-2010) telah mengobral 63 Izin Usaha Pertambangan (IUP), khususnya pada tahun 2007-2008, jelang Pemilihan Gubernur Kaltim -dimana dia turut bertarung memperebutkan kursi KT1-. Dan berdasar LHP BPK, sebagian besar IUP itu tidak memiliki Amdal.“Kami juga sudah laporkan yang bersangkutan serta mantan Kadis Pertambangan, RAR, ke KPK terkait dugaan gratifikasi sebesar Rp 4 miliar dari perusahaan tambang batubara, PT GBE,” kata Merah.Jatam Kaltim dan Indonesian Corruption Watch (ICW) memegang bukti dua cek, masing-masing senilai Rp 2 miliar. Izin yang dikeluarkan Amins meliputi areal seluas 27.164 ha atau 71 persen dari luas wilayah Samarinda. Amins kini menjabat Ketua Partai Nasional Demokrat (Nasdem) Kaltim dan caleg DPR RI dari dapil Kaltim-Kaltara.Nama lain yang disebutnya pro pengerukan batubara adalah Syaharie Jaang, Siswadi, dan Agus Suwandy. Jaang 10 tahun menjadi Wakil Walikota mendampingi Amins. Kini Walikota Samarinda, sekaligus Ketua DPC Partai Demokrat Samarinda. Sedang Siswadi adalah Ketua DPRD Samarinda yang melalui PDIP kembali menjadi caleg DPRD Samarinda. | [1.0, 2.7181571229939472e-11, 2.1901744307051274e-11] |
2014-050-18.json | Pasca Pemilu, Jatam Kaltim Kembali Rilis Nama Caleg Pro-Tambang | Pasca Pemilu, Jatam Kaltim Kembali Rilis Nama Caleg Pro-Tambang | “Saat menjadi Ketua DPRD Samarinda, Siswadi tidak menunjukkan keseriusannya mengevaluasi tambang. Tiga kali komposisi Pansus Tambang dirombak dan hingga kini belum tuntas. Hak angket soal tambang pupus. Begitu pula Agus Suwandy yang akan mencalegkan diri dari Partai Gerindra, saat menjadi Ketua Pansus Tambang, terindikasi tidak mampu memimpin Pansus Tambang yang tertutup bagi publik,” terang Merah.Hasil penelusuran Jatam bersama dua lembaga pegiat lingkungan itu juga menyebut sejumlah nama lain yang disebutkan pro pengerukan batubara. Antara lain Hery Susanto (Abun) caleg DPR RI dari Demokrat, Mudiyat Noor (caleg DPR RI dari Hanura), Mahyudin (caleg DPR RI dari Golar), serta sejumlah parpol pendukung beberapa kepala daerah di Kaltim. Antara lain Malinau, Kutai Timur, Kutai Barat, Tana Tidung, Paser, Kutai Kartanegara, Bulungan, dan Nunukan. [SEP] | [0.4948588013648987, 0.4965273141860962, 0.008613888174295425] |
2018-040-05.json | Desakan Publik Menguat, Kapan Eksekusi PT. Kallista Alam Dilakukan? | Desakan Publik Menguat, Kapan Eksekusi PT. Kallista Alam Dilakukan? | [CLS] Sebanyak 120 ribu tandatangan dibubuhkan masyarakat. Publik mendesak, Pengadilan Tinggi Aceh dan Mahkamah Agung membatalkan putusan Pengadilan Negeri Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat, Aceh, yang menganulir putusan Mahkamah Agung terhadap kasus pembakaran hutan gambut Rawa Tripa di Kabupaten Nagan Raya.Mahkamah Agung dalam putusannya Nomor: 651 K/Pdt/2015, telah memvonis PT. Kalista Alam bersalah karena membakar hutan gambut Rawa Tripa. Perusahaan ini juga diwajibkan membayar ganti rugi sebesar Rp366 miliar.Namun, tiga tahun setelah putusan itu, PT. Kallista Alam justru meminta perlindungan hukum ke Pengadilan Negeri (PN) Meulaboh dan menggugat balik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta Pemerintah Aceh. Dalihnya, ada kesalahan koordinat pada lahan hak guna usaha (HGU) atau error in objecto.“Parahnya, Majelis Hakim PN Meulaboh yang dipimpin oleh Said Hasan justru mengabulkan permintaan perusahaan sawit tersebut,” ujar Juru Bicara Gerakan Rakyat Aceh Menggugat (GeRAM), Fahmi pada 13 Juli 2018.Baca: Kasus Pembakar Rawa Tripa: Aneh, Pengadilan Negeri Meulaboh Batalkan Putusan Mahkamah Agung Pengadilan Negeri Meulaboh, pada 12 April 2018, menyatakan bahwa putusan Mahkamah Agung itu tidak mempunyai titel eksekutorial atau tidak bisa dieksekusi. Majelis hakim juga mengatakan, pembakaran hutan dalam kawasan gambut tersebut tidak bisa dimintakan pertanggungjawaban hukumnya kepada PT.Kallista Alam.“Keputusan Said Hasan yang secara hirarki di bawah Mahkamah Agung, mengundang tanda tanya. Bagaimana mungkin putusan MA dimentahkan begitu saja oleh pengadilan negeri ataupun pengadilan tingg,” tanya Fahmi.“Majelis hakim juga membebaskan PT. Kallista Alam dari segala tanggung jawab, mengganti rugi dan memulihkan lahan terbakar. Padahal, kesalahan koordinat yang digugatkan hanyalah sebagian lahan, secara fakta majelis hakim telah melakukan sidang di lokasi pembakaran,” tambahnya. | [0.013069942593574524, 0.020550377666950226, 0.966379702091217] |
2018-040-05.json | Desakan Publik Menguat, Kapan Eksekusi PT. Kallista Alam Dilakukan? | Desakan Publik Menguat, Kapan Eksekusi PT. Kallista Alam Dilakukan? | Seharusnya, perusahaan ini tidak melakukan gugatan baru atas kasus yang sudah berkekuatan hukum tetap. Apalagi, mempersalahkan koordinat lahan yang sudah diperiksa mulai Pengadilan Negeri Meulaboh, Pengadilan Tinggi Banda Aceh, hingga Mahkamah Agung.“Periode Januari 2013 – Desember 2017, sebanyak 193 titik api terdeteksi dan 60 hektar hutan hilang di dalam konsesi PT. Kallista Alam. KLHK menemukan bukti bahwa perusahaan terus mengeksploitasi lahan yang sudah mereka bakar dan membuat kanal baru,” terangnya.Bila keputusan Mahkamah Agung dengan mudah dibatalkan, mau dibawa kemana hukum Indonesia. “Demi kepastian hukum yang berkeadilan, kami mendesak Mahkamah Agung Republik Indonesia untuk membatalkan putusan Nomor:16/Pdt.G/2017/PN.Mbo sekaligus memerintahkan PN Meulaboh melaksanakan eksekusi terhadap PT. Kallista Alam. Ini sesuai putusan perkara Nomor: 1 PK/PDT/2017 jo Nomor: 651 K/Pdt/2015 jo Nomor: 50/PDT/2014/PT BNA jo Nomor: 12/PDT.G/2012/PN.MBO untuk membayar biaya pemulihan lingkungan sebesar Rp366 miliar,” ungkap Fahmi.Baca: Eksekusi Kasus PT. Kallista Alam Tak Kunjung Dilakukan, Kenapa? PetisiYayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA) bersama GeRAM membuat petisi agar PT. Kalista Alam dihukum dan putusan yang membela perusahaan tersebut dibatalkan. Dukungan tersebut digalang melalui Change.org/HukumPembakarLahan.“Koalisi masyarakat sipil menyerahkan dukungan publik ini ke Pengadilan Tinggi Banda Aceh. Masyarakat berharap, eksekusi putusan MA terhadap perusahaan pembakar rawa gambut Tripa, Nagan Raya, dapat direalisasikan” ungkap Badrul Irfan, Sekretaris Yayasan HAkA.Badrul menambahkan, penyerahaan petisi yang dilakukan 13 Juli itu dihadiri juga perwakilan dari Rumoh Transparansi, FORA, Change.org Indonesia, dan Perhimpunan Pengacara Lingkungan Hidup (P2LH). | [0.013831224292516708, 0.9679399728775024, 0.018228823319077492] |
2018-040-05.json | Desakan Publik Menguat, Kapan Eksekusi PT. Kallista Alam Dilakukan? | Desakan Publik Menguat, Kapan Eksekusi PT. Kallista Alam Dilakukan? | “Ini bentuk dukungan untuk membatalkan putusan PN Meulaboh. Kami juga mendesak Mahkamah Agung membatalkan putusan 16/Pdt.G/2017/PN.Mbo,” tambah Badrul.Kepala Humas PT Banda Aceh, Maratua Rambe, yang menerima petisi menyatakan akan mempelajari dahulu dukungan masyarakat tersebut. “Saat ini, berkas-berkas dari PN Meulaboh belum lengkap kami terima, sehingga, proses banding belum bisa dimulai,” katanya.Sebelumnya, Rumoh Transparansi telah melaporkan kasus ini ke KPK dengan nomor pengaduan 96297 pada hari Rabu, 2 Mei 2018. “Kami mencium ada penyelewengan yang menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 366 miliar. Kami anggap ini upaya penyalahgunaan wewenang PN Meulaboh sehingga kami mengadukan PN Meulaboh ke Komisi Pemberantasan Korupsi,” ujar Crisna, perwakilan Rumoh Transparansi.Salah satu penandatangan petisi dengan akun Aslam Saad menulis, “Ketika hukum digadaikan oleh penegak hukum kepada para perusak hutan, rakyat sekitar hutan semakin menderita dan negara tak berdaya.” Akun lain dengan nama Elok Galih Karuniawati menulis, “Selamatkanlah hutan kita dan eksekusi perusahaan yang telah ceroboh membakar hutan. #SaveTripa.” [SEP] | [0.9999924302101135, 3.7143843201192794e-06, 3.868637577397749e-06] |
2015-042-16.json | Sahara, Gurun Pasir yang Dulunya Danau Raksasa | Sahara, Gurun Pasir yang Dulunya Danau Raksasa | [CLS] Sahara memang tampak tak berbatas. Gurun pasir ini membentang luas. Melintasi berbagai negara, sebut saja Algeria, Chad, Mesir, Libya, Mali, Mauritania, Maroko, Niger, Sudan, dan Tunisia.Tak mengherankan jika Sahara dijuluki sebagai salah satu gurun terbesar di dunia. Karena luasannya yang mencapai 9.400.000 kilometer persegi. Pastinya, Sahara yang dalam Bahasa Arab berarti padang pasir ini memiliki sebanyak 2.800 tumbuhan vaskular (berpembuluh) yang sekitar seperempatnya merupakan tanaman endemik. Keunikan lainnya, Sahara merupakan rumah bagi rubah fennec (Vulpes zerda), yaitu rubah kecil berukuran 37-41 cm yang memiliki pendengaran sensitif untuk setiap pergerakan serangga, mamalia kecil, dan burung.Namun, siapa sangka, jika gurun yang suhu rata-ratanya di atas 38 derajat celcius ini awalnya adalah sebuah danau. Danau Mega Chad. Penelitian ini sebagaimana disampaikan oleh ilmuwan dari Royal Holloway, Birkbeck and Kings College, dan University of London yang telah dipublikasikan dalam Jurnal Proceedings of the National Academy of Science. Sebagaimana dilansir dari Daily Mail, Mega Chad merupakan danau air tawar segar seluas 360 ribu kilometer persegi di Afrika Tengah. Atau, ukurannya tiga kali dari luas Pulau Jawa.Namun, dalam 1.000 tahun terakhir, ukurannya terus menyusut. Saat ini hanya menyisakan 355 kilometer persegi. Meski begitu, keberadaan danau tersisa bernama Chad ini begitu penting sebagai sumber air bersih bagi 20 juta penduduk di empat negara yang ada di sekitarnya. Yaitu Chad, Kamerun, Niger, dan Nigeria dengan kondisi danau yang pantainya membentuk rawa dan dihiasi pulau-pulau kecil.Pastinya, danau terbesar yang terletak di Afrika ini telah menunjukkan pada kita bila periode lembab di Afrika Utara berakhir sekitar 5.000 tahun yang lalu. Dan, debu yang berasal dari Danau Bodele, sebagai sumber debu terbesar di atmosfer, dimungkinkan belum mengering hingga 1.000 tahun yang lalu. | [0.000254815851803869, 0.01976369507610798, 0.979981541633606] |
2015-042-16.json | Sahara, Gurun Pasir yang Dulunya Danau Raksasa | Sahara, Gurun Pasir yang Dulunya Danau Raksasa | Namun begitu, menurut Simon Armitage dari Departemen Geografi Royal Holloway, perubahan ini bahkan terjadi hanya dalam beberapa ratus tahun. Jauh lebih cepat dari anggapan sebelumnya.Untuk menganalisis kondisi Danau Mega Chad, hingga mengalami penyusutan, para peneliti ini menggunakan citra satelit terutama untuk memetakan garis ujung danau yang pernah terlihat sebelumnya. Mereka juga meneliti proses sedimentasi danau untuk memperhitungkan umur guna menghasilkan catatan sejarah danau sekitar 15.000 tahun yang lalu.Temuan ini sekaligus memberikan gambaran pada kita bagaimana hutan hujan Amazon tumbuh. Sebab, jutaan ton debu yang kaya akan nutrisi itu terbang melintasi Samudera Atlantik setiap tahunnya untuk membantu menyuburkan tanah dan hutan di kawasan tersebut. [SEP] | [0.0002839576918631792, 0.980250358581543, 0.019465679302811623] |
2017-006-15.json | Ruang Perempuan dan Adaptasi Perubahan Iklim Masyarakat Pesisir | Ruang Perempuan dan Adaptasi Perubahan Iklim Masyarakat Pesisir | [CLS] Letak geografis dan kondisi bentang alam Indonesia menjadikannya rentan terhadap dampak negatif perubahan iklim. Perubahan iklim berpotensi menyebabkan perubahan ekologis dan ekosistem pesisir. Dipicu tekanan akibat cuaca ekstrim, kenaikan muka air laut, kenaikan suhu dan perubahan pola cuaca.Pengaruh perubahan iklim pun telah mendorong kenaikan suhu dan intensitas hujan rata-rata, demikian pula dengan kejadian cuaca ekstrim. Intensitas kejadian dari bencana hidrometeorologi pun mendominasi hingga lebih 90 persen (BNPB, 2016). Masyarakat pesisir, -kelompok yang tergantung kepada mata pencarian dari pemanfaatan sumberdaya alam, termasuk mereka yang bermukim di pulau-pulau kecil yang tersebar di Nusantara, adalah salah satu kelompok yang paling memiliki kerentanan tinggi akibat perubahan iklim ini.Baca juga: Perempuan Nelayan, Mampukah Memperjuangkan Kesetaraan?Berbeda dengan masyarakat agraris di darat, yang bertalian dengan konsep kepemilikan dan penguasaan lahan yang lebih terkontrol, maka produktivitas pesisir dan hasil sumberdaya lautnya bersifat open access. Dalam konteks ini, menjadi penting untuk kita dapat memahami bagaimana perempuan dan laki-laki dalam komunitas pesisir memiliki cara pandang yang berbeda terkait adaptasi. Perempuan Pesisir Lebih Rentan “Di Negeri (Desa) Wassu, perempuan berperan penting dalam adaptasi. Sebelum musim gelombang tinggi, mereka sudah menyiapkan segala kebutuhan. Yang unik, perempuan menyiapkan lauk pengganti ikan yang sulit didapat pada musim Timur dengan mencari laor (cacing laut), memanen rumput yang tumbuh di tanjung-tanjung” –Bu Bace, tinggal di Haruku, Kepulauan Lease Maluku Tengah. Peryataan diatas memberi contoh gambaran bagaimana perempuan dan laki-laki mengalami pengalaman yang berbeda. Situasi demikian terutama terjadi karena perbedaan konteks sosial-budaya dimana mereka berdiam. | [0.00033922979491762817, 0.9992603659629822, 0.0004004047659691423] |
2017-006-15.json | Ruang Perempuan dan Adaptasi Perubahan Iklim Masyarakat Pesisir | Ruang Perempuan dan Adaptasi Perubahan Iklim Masyarakat Pesisir | Perempuan pesisir memegang peran penting dalam rantai nilai ekonomi. Perempuan terlibat sejak pra hingga paska produksi (KIARA, 2017). Temuan lain menyebutkan jumlah perempuan yang menerima dampak kejadian bencana lebih besar dari laki-laki dengan perbandingan rasio 4:1 (London School of Economic). Angka ini terkait dengan pemenuhan hak ekonomi dan sosial dimana bencana berlangsung. Disayangkan, seringkali tindakan adaptasi tidak mempertimbangkan secara setara, bahkan kerap menafikan kebutuhan dan kepentingan yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Sudut pandang konstruksi sosial memungkinkan kedua gender menerima dampak dan memaknai tindakan penyesuaian secara berbeda. Bagi perempuan pesisir, fenomena ini nyata terlihat. Dalam hal ini, posisi dan peran gender yang berbeda yang dilekatkan pada mata pencaharian, kehidupan domestik dan publik menyebabkan perbedaan tersebut. Karena itu, perempuan pesisir pun mempersepsikan perubahan iklim dan pemaknaan adaptasi secara berbeda. Perempuan nelayan banyak terlibat dalam persiapan melaut, meski mereka tidak banyak ikut dalam proses penangkapan secara langsung. Ditahap setelahnya, perempuan juga turut memasarkan dan mengolah hasil tangkapan untuk meningkatkan nilai ekonomi hasil tangkapan. Karena peran yang khas, perempuan pesisir memiliki pandangan berbeda mengenai bentuk penyesuaian yang perlu dilakukan. Sayangnya, adaptasi seringkali dipersepsikan hanya dalam berbagai bentuk pembangunan atau perbaikan infrastruktur, penyediaan alat dan teknologi tangkap. Padahal upaya penyesuaian dalam persepsi perempuan tidak sekedar menyangkut infrastruktur tersebut. | [0.00033922979491762817, 0.9992603659629822, 0.0004004047659691423] |
2017-006-15.json | Ruang Perempuan dan Adaptasi Perubahan Iklim Masyarakat Pesisir | Ruang Perempuan dan Adaptasi Perubahan Iklim Masyarakat Pesisir | Di ranah domestik, perempuan bertanggungjawab memastikan kebutuhan pangan anggota keluarga terpenuhi secara seimbang. Saat musim dimana nelayan tidak bisa melaut akibat gelombang tinggi, perempuan diserahi tanggung jawab untuk membantu mencari alternatif mata pencarian dan sumber pangan lain, untuk kebutuhan keluarga. Peran tersebut meski sering dianggap sepele, meski sejatinya bernilai penting.Dari sudut padang perempuan, bentuk penyesuaian yang tepat adalah menemukan alternatif cara memenuhi kebutuhan pangan. Misalnya, semacam kebun keluarga menjadi jawaban. Dalam kondisi kekurangan air tawar, upaya adaptasi untuk menyediakan sumber air tidak hanya mencari sumber air baru dan membangun tangki penampung. Padahal, karena berbagai aktivitas peran domestiknya, perempuan memerlukan kemudahan akses ke sumber air.Demikian pula akses terhadap kredit dan bantuan. Meskipun tidak resmi dianggap berprofesi sebagai nelayan, perempuan perlu memiliki akses yang sama terbuka untuk mendapatkan kredit dan bantuan keuangan. Proteksi asuransi nelayan yang sedang digalakkan oleh pemerintah, perlu dinilai secara kritis apakah telah mempertimbangkan keterlibatan perempuan dalam rantai ekonomi. Adalah penting perempuan pesisir dan keluarganya layak untuk mendapatkan perlindungan asuransi. Adaptasi perubahan iklim khususnya bagi masyarakat pesisir memerlukan suara perempuan. Diatas semuanya, penyesuian pada tingkat masyarakat sepatutnya memberi ruang untuk meningkatkan peran strategis perempuan dalam pengambilan keputusan ditingkat publik. Sehingga pemenuhan prinsip akses, partisipasi, kontrol, manfaat yang seimbang pun dapat terpenuhi. * Suryani Amin, penulis adalah Penasihat Adaptasi Perubahan Iklim berbasis Masyarakat dalam program USAID-APIK. Artikel ini merupakan pendapat pribadi. [SEP] | [0.00033922979491762817, 0.9992603659629822, 0.0004004047659691423] |
2015-072-18.json | Normalisasi untuk Cegah Banjir Ciliwung, Jalan Efektif atau Jadi Masalah Baru? | Normalisasi untuk Cegah Banjir Ciliwung, Jalan Efektif atau Jadi Masalah Baru? | [CLS] Ciliwung saat ini sangat dikenal masyarakat, namun lebih sebagai sungai yang selalu terkait dengan banjir di Jakarta. Rencana Kemenpera dan Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane untuk melakukan normalisasi sungai (pembetonan) pinggir kali Ciliwung dianggap tidak menyelesaikan masalah, bahkan menimbulkan masalah baru. Bagaimana perkara sebenarnya?Secara utuh, Ciliwung memiliki luas sekitar 38.610 hektar yang membuatnya dibagi dalam tiga sub daerah aliran sungai (DAS). Ciliwung hulu seluas 15.251 ha (Kab. Bogor dan Kota Bogor), Ciliwung tengah seluas 16.706 ha (Kab Bogor, Kota Bogor, Depok, dan Bekasi), serta Ciliwung hilir seluas 6.295 ha (DKI Jakarta).Saat ini, kawasan hutan yang merupakan regulator alami tata kelola air tersisa di DAS Ciliwung hanya tersisa 9,7 persen atau seluas 3.693 hektar. Padahal, bila bicara luasan ideal ruang hijau, harusnya sekitar 30 persen dari luas Ciliwung itu sendiri.Menurut Djati Witjaksono Hadi, Direktur Perencanaan dan Evaluasi Pengelolaan DAS, Direktorat Jenderal Bina Pengelolaan DAS dan Perhutanan Sosial, permasalahan Ciliwung adalah lahan resapan air yang semakin menyempit.“Jika dikalkulasikan, lahan terbangun di DAS Ciliwung berupa permukiman dan gedung tersebut mencapai 72 persen,” jelas Djati beberapa waktu lalu di Bogor. Meskipun di wilayah DKI Jakarta, tercatat ada lima DAS lain yang turut berkontribusi terhadap banjir: Angke – Pasanggrahan, Krukut – Grogol, Sunter, Cakung, dan Buaran.“Namun, DAS Ciliwung lah yang paling besar memberikan limpasan air sekitar 32,3 persen atau 11,4 juta meter kubik/jam. Bila dibandingkan Sunter yang berada diurutan sekitar 21,1 persen atau 7,46 juta meter kubik/jam tentunya masih jauh. “Inilah mengapa Ciliwung begitu ditakuti.” | [0.9656471014022827, 0.017137303948402405, 0.017215635627508163] |
2015-072-18.json | Normalisasi untuk Cegah Banjir Ciliwung, Jalan Efektif atau Jadi Masalah Baru? | Normalisasi untuk Cegah Banjir Ciliwung, Jalan Efektif atau Jadi Masalah Baru? | Menurut Djati, kerusakan lahan tersebut dapat dipetakan dalam tiga bagian sesuai wilayah aliran Ciliwung. Untuk wilayah hulu, kerusakan kawasan disebabkan maraknya pembangunan villa dan pendirian bangunan tanpa izin. Wilayah tengah, dikarenakan adanya pembangunan perumahan dan perkantoran. Sementara wilayah hilir, daerah ini dipastikan sudah tidak ada lagi ruang terbuka hijaunya dikarenakan padatnya bangunan perumahan di sempadan sungai.Karena daerah resapan yang sempit inilah mengakibatkan air hujan langsung menuju Ciliwung. Konsekuensinya adalah permukaan air akan meningkat dan banjir tidak dapat dihindari bila curah hujan benar-benar tinggi. Rencana Normalisasi Ciliwung Lewat Penurapan, Apakah Jalan Terbaik?Untuk menghindarkan banjir Jakarta, Pemerintah melakukan program dari menggalakkan pembuatan sumur resapan dan biopori (Bogor, Depok, DKI), menggalang gerakan Ciliwung bersih dari sampah, hingga pembangunan hutan kota (Depok dan DKI).Sesuai dokumen aksi multi pihak penanganan DAS Ciliwung untuk Pengendalian Banjir, secara bertahap Pemerintah akan menyelesaikan normalisasi sungai Ciliwung dengan target pembetonan (penurapan) sepanjang 19 km yang membelah Jakarta dari Jalan TB Simatupang hingga Manggarai. Dana yang dibutuhkan untuk lahan seluas 65 hektar itu adalah Rp 1,8 triliun.Pembangunan yang ditargetkan selesai 2016 itu terdiri dari empat rangkaian pembangunan yaitu Jalan Casablanca-Kampung Melayu (18 hektar), Kampung Melayu-Jembatan Kalibata (16 hektar), Jembatan Kalibata-Eretan Condet (16 hektar), serta Eretan Condet-Jalan T.B. Simatupang (15 hektar). | [0.01809711940586567, 0.9629115462303162, 0.01899130828678608] |
2015-072-18.json | Normalisasi untuk Cegah Banjir Ciliwung, Jalan Efektif atau Jadi Masalah Baru? | Normalisasi untuk Cegah Banjir Ciliwung, Jalan Efektif atau Jadi Masalah Baru? | Bagi Sudirman Asun, pengamat dan aktivis Ciliwung bersih dari Ciliwung Institute, hal ini tidak akan menyelesaikan masalah malah akan kontradiktif. Pembetonan akan menghalangi resapan air dari daratan menuju sungai. Menurutnya, harusnya sempadan sungai yang kini dipenuhi bangunan permukiman warga yang dibebaskan untuk dijadikan ruang terbuka hijau. Bukan dibeton.Berbeda dengan pembetonan aliran Ciliwung lama maupun kanalisasi Kota Tua, penurapan di segmen TB Simatupang-Manggarai yang memiliki lansekap kontur lebih curam hanya akan membuat air lebih cepat mengalir masuk ke hilir daerah di Jakarta Pusat dan Jakarta Utara.Akan menjadi masalah, saat air yang masuk ke daerah hilir tidak dapat secara alamiah dibuang ke laut, karena permukaan laut yang lebih tinggi daripada permukaan air sungai. Pada saat pompa folder tidak berfungsi akibat aliran listrik yang diputus PLN, seperti yang terjadi di bulan Februari 2015 lalu, wilayah Jakarta Utara dan hingga Jakarta Pusat mengalami kebanjiran yang parah.Dalam jangka panjang air yang semakin cepat dialirkan ke hilir ditambah track record kemampuan maintanance Pemprov DKI yang buruk dalam perawatan pompa folder dan koordinasi dengan pihak lain, akan mengancam daerah Jakarta Pusat dan Jakarta Utara mengalami banjir lain yang lebih parah.Dari sisi sosial, maka dalam jangka panjang pun pembetonan pun hanya akan menambah masalah, saat warga ramai-ramai mengokupasi bantaran sungai untuk dihuni maupun untuk berusaha.Mengembalikan Fungsi Bantaran SungaiEko Kusratmoko, pakar geografi dan keteknikan dari Universitas Indonesia menyebutkan bahwa satu hal yang harus dipahami adalah sebagian besar wilayah Jakarta merupakan lahan basah berupa rawa. Fungsi utama rawa adalah pengatur dan penyimpan air, bukan sebagai daerah resapan. | [0.9656471014022827, 0.017137303948402405, 0.017215635627508163] |
2015-072-18.json | Normalisasi untuk Cegah Banjir Ciliwung, Jalan Efektif atau Jadi Masalah Baru? | Normalisasi untuk Cegah Banjir Ciliwung, Jalan Efektif atau Jadi Masalah Baru? | Sungai meluap atau biasa disebut banjir adalah suatu proses alamiah siklus ekologi pada sungai, hal ini dibuktikan ketika Jakarta juga mengalami banjir sejak jaman Batavia dulu. Kini yang menjadi persoalan ketika banjir semakin sering terjadi dengan daya rusak lebih besar.“Masalahnya, rawa [di Jakarta] dialihfungsikan menjadi perumahan, hingga perkantoran menyebabkan air tidak terserap kala hujan deras menerjang. Banjir pun tidak terelakkan akibat air yang mengalir melebihi kapasitas daya tampung saluran yang ada,” jelasnya.Dengan bencana ekologis yang ada, maka penanggulangan juga harus dilakukan dengan pendekatan perbaikan ekologi seperti pemulihan tutupan hijau resapan air DAS (Daerah Aliran Sungai/ Watershed). Menurutnya, seharusnya jarak sepuluh meter dari tepian Ciliwung tidak diperbolehkan untuk bangunan. Mengingat kemiringan kali beresiko besar terjadinya longsor.Senada dengan Kusratmoko, Asun menyatakan harusnya konsep DAS yang diterapkan untuk normalisasi ini, yaitu air yang mengalir dari hulu Ciliwung diserap secara maksimal dan untuk selanjutnya dialirkan selambat mungkin. Caranya adalah dengan memperluas areal resapan air yaitu dengan menambah luasan ruang terbuka hijau atau juga memaksimalkan peran situ. “Jadi, mindset yang menganggap air itu sebagai sumber bencana diubah menjadi air sebagai sumber kehidupan,” jelasnya.Sepanjang aliran yang akan diturap beton yaitu TB Simatupang-Manggarai, sebenarnya masih cukup didominasi oleh kebun warga yang cukup rimbun. Penurapan pinggiran kali dikuatirkan akan menghadangi sirkulasi hidrologi resapan air tanah. Padahal seharusnya Pemerintah seharusnya merevitalisasi wilayah riparian sungai di wilayah yang akan diturap. Termasuk mengembalikan flora dan fauna yang ada sebagai pendukung ekosistem Ciliwung. | [0.9656471014022827, 0.017137303948402405, 0.017215635627508163] |
2015-072-18.json | Normalisasi untuk Cegah Banjir Ciliwung, Jalan Efektif atau Jadi Masalah Baru? | Normalisasi untuk Cegah Banjir Ciliwung, Jalan Efektif atau Jadi Masalah Baru? | Di sisi kiri kanan wilayah riparian Ciliwung zona Bogor – Depok berdasarkan penelitian merupakan habitat hidupan liar dimana tercatat 105 spesies dari 36 famili dapat dimaksimalkan perannya sebagai wilayah tangkapan air dan pengontrol erosi serta sedimentasi. Penguatan bantaran seharusnya dilakukan lewat pendekatan bio-engineering seperti beronjong (penguatan tebing dengan kawat berisi batu kali) dan penanaman pohon di sempadan sesuai dengan PP no 38/2011 tentang Sungai.“Betonisasi ini justru hanya mempercepat pemindahan air ke hilir. Padahal, persoalan ini harus dilihat secara menyeluruh, mulai dari hulu hingga hilir. Jangan dilakukan sepihak saja, persoalan ada di tata ruang, yang bermasalah itu wilayah Ciliwung hulu karena resapannya rusak,” jelas Asun mengakhiri pernyataaan. [SEP] | [0.9656471014022827, 0.017137303948402405, 0.017215635627508163] |
2020-062-07.json | Menimbang Dampak RUU Omnibus Law Cipta Kerja di Sektor Kelautan dan Perikanan | Menimbang Dampak RUU Omnibus Law Cipta Kerja di Sektor Kelautan dan Perikanan | [CLS] Indonesia dikenal memiliki keanekaragaman hayati sektor kelautan yang tinggi, yang oleh beberapa kalangan disebut sebagai the Amazon of the seas. Indonesia juga memiliki kawasan yang disebut The Coral Triangle yang juga kaya dengan keanekaragaman hayati.Namun, kekayaan ini dinilai mengalami keterancaman seiring dengan rencana pemerintah menerapkan Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja, yang rancangannya kini tengah dibahas di DPR.Pro kontra Omnibus Law memang kini tengah berlangsung di masyarakat, bahkan di tengah merebaknya wabah Corona atau COVID-19 saat ini. Sektor kelautan kini menjadi salah satu sorotan karena beberapa pasal dalam RUU ini dinilai sebagai kemunduran dan mengancam keberlanjutan ekosistem laut dan pesisir.Rony Megawanto, Direktur Program Yayasan Keanekaragaman Hayati (Kehati), pada diskusi yang diselenggarakan Kehati dan Mongabay Indonesia, Senin 27 April 2020, menyatakan ancaman terhadap keanekaragaman hayati laut Indonesia yang begitu kaya harus menjadi salah satu pertimbangan sebelum menerapkan UU Cipta Kerja ini nantinya.“Dalam konteks Omnibus Law kita harus hati-hati dalam melakukan investasi, meski kita belum tahu investasinya akan seperti apa, kondisi laut kita saat ini harus menjadi pertimbangan,” ungkapnya.baca : Was-was ‘Sapu Jagat’ Omnibus Law Menurut Rony, tanpa adanya Omnibus Law ini saja tekanan terhadap laut dan pesisir sudah sangat besar. Tiga ekosistem penting pesisir, yaitu terumbu karang, padang lamun dan mangrove berada dalam kondisi kritis.Salah satu penyebabnya adalah karena sebagian besar kapal penangkapan ikan adalah kapal ikan skala subsisten dan kecil yang menangkap ikan wilayah pesisir. Sementara kapal perikanan yang menangkap ikan di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan laut lepas (high seas) jumlahnya sangat sedikit. | [0.9656471014022827, 0.017137303948402405, 0.017215635627508163] |
2020-062-07.json | Menimbang Dampak RUU Omnibus Law Cipta Kerja di Sektor Kelautan dan Perikanan | Menimbang Dampak RUU Omnibus Law Cipta Kerja di Sektor Kelautan dan Perikanan | Terkait isi RUU Omnibus Law Cipta Kerja ini, Rony mengurai empat catatan penting. Pertama, terkait definisi nelayan, yang tidak lagi menyertakan ukuran kapal yang digunakan nelayan.Ini dinilai berbeda dengan aturan yang ada saat ini. Misalnya, dalam UU No.45 tahun 2009 tentang Perikanan menyebutkan nelayan kecil berkapasitas di bawah 5 GT, sedangkan di UU No.7 tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam disebutkan di bawah 10 GT.“Selama ini nelayan kecil memiliki keistimewaan, di mana mereka bisa menangkap ikan di mana saja tanpa perlu izin dan disubsidi, kecuali di wilayah konservasi. Kalau tidak ada indikator yang jelas yang mana disebut nelayan kecil maka nelayan besar pun dikhawatirkan akan mendapatkan fasilitas tersebut,” jelasnya.Kedua, terkait penyederhanaan perizinan. Jika sebelumnya terdapat tiga izin yang harus dipenuhi yaitu Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP), Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) Dan Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI) serta sejumlah izin lingkungan, namun kini disimplifikasi menjadi satu izin saja, yaitu izin berusaha.Ketiga, adanya re-sentralisasi, di mana semua perizinan kini hanya bisa diberikan oleh pemerintah pusat. Dalam hal ini wewenang provinsi dan kabupaten dicabut.“Ini malah bertentangan dengan semangat reformasi yang justru dulu bagaimana sentralisasi didistribusi. Kalau sentralisasi terjadi maka saya yakin pemerintah pusat akan kewalahan dalam mengelola sumber daya ikan karena rentang kendalinya akan sangat luas.”Keempat, terkait pemberian sanksi yang hanya berupa sanksi administrasi, sementara sanksi denda dan pidana dihilangkan.“Padahal pemberian sanksi pidana dianggap masih sangat penting untuk memberikan efek jera bagi pelaku pelanggaran,” katanya.baca juga : Indikasi Kemunduran Tata Kelola Kelautan dan Perikanan Mulai Terlihat | [0.999424159526825, 0.00028237837250344455, 0.000293476419756189] |
2020-062-07.json | Menimbang Dampak RUU Omnibus Law Cipta Kerja di Sektor Kelautan dan Perikanan | Menimbang Dampak RUU Omnibus Law Cipta Kerja di Sektor Kelautan dan Perikanan | Menurut Mas Achmad Santoso, CEO Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI), upaya pemerintah mendorong RUU Omnibus Law Cipta Kerja ini tak terlepas dari visi 2045 Indonesia yang menargetkan menjadi 5 besar kekuatan ekonomi dunia, dan target 2040 masuk kategori negara berpendapatan tinggi.“Inilah yang membuat arah kebijakan pemerintah kemudian adalah percepatan investasi untuk pertumbuhan ekonomi,” ungkapnya dalam diskusi yang diselenggarakan CORAL, Rabu 29 April 2020.Dikatakan, Ota, sapaan akrab Mas Achmad Santoso, Omnibus Law sebagai metode dipilih karena memiliki sejumlah kelebihan, seperti menghemat waktu dan biaya, memudahkan kesepakatan politik dan harmonisasi.Namun Omnibus Law juga memiliki kelemahan, seperti sifatnya yang multi and diverse subject, yang membuat kelompok kritis dalam parlemen, opisisi dan masyarakat sulit dan terbatas ikut serta dalam proses pembahasannya.“Judulnya cipta kerja, artinya UU ini tujuannya untuk ingin menciptakan lapangan kerja yang seluas-luasnya, tetapi kalau melihat isinya banyak hal-hal yang mungkin saya anggap ini berhubungan dengan penciptaan lapangan kerja,” katanya.Di pembahasan RUU ini, Ota bahkan mensinyalir kecenderungannya adanya penyelundupan pasal-pasal yang condong pada kepentingan tertentu. Di lain sisi, pemerintah dinilai tidak mampu mengakomodir kepentingan masyarakat luas dalam proses penyusunannya.Terkait semangat re-sentralisasi perizinan dalam Omnibus Law ini, Ota menilai pemerintah nantinya akan kesulitan dalam hal pengawasan kepatuhan.“Karena tidak lagi dikenal izin sektoral semuanya diamalgasikan ke dalam perizinan usaha, pertanyaannya bagaimana pengawasan kepatuhannya dan siapa yang akan melakukannya?” ujarnya. | [0.00033922979491762817, 0.9992603659629822, 0.0004004047659691423] |
2020-062-07.json | Menimbang Dampak RUU Omnibus Law Cipta Kerja di Sektor Kelautan dan Perikanan | Menimbang Dampak RUU Omnibus Law Cipta Kerja di Sektor Kelautan dan Perikanan | Ota juga menyoroti penilaian kriteria kegiatan dampak penting yang wajib Amdal yang menjadi tidak jelas. Selama ini Amdal diatur dalam UU No.32/2009 tentang Lingkungan Hidup dengan 9 kriteria, yang dalam RUU ini dihilangkan dan selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah.perlu dibaca : Nasib Nelayan Semakin Terpuruk di Saat Pandemi COVID-19 Momentum Strategis Perikanan TangkapZulficar Mochtar, Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan, menjelaskan bahwa saat ini perikanan tangkap Indonesia berada pada momentum sangat strategis, yang secara ekonomi dianggap bisa meningkatkan kesejahteraan nelayan dan pelaku usaha. Sehingga membutuhkan investasi yang serius dan upaya pengembangan potensi ekonomi yang luar biasa.“Dengan kondisi negara yang sangat butuh seperti sekarang ini, harusnya bisa didorong sebagai kerangka strategis untuk berkembang ke depan. Namun kita juga tak ingin ini bablas, makanya instrumen-instrumen pendataan harus dikawal bersama,” katanya.Meski demikian, ia menyadari adanya kekhawatiran berbagai pihak terkait dampak Omnibus Law ini. Misalnya terkait perizinan yang nantinya seluruhnya menjadi wewenang pemerintah pusat.“Ini menjadi salah satu concern kami, karena memang diperlukan kontrol mencegah terjadinya salah kelola dalam tata kelola kelautan dan perikanan.”Menurutnya, meski segala bentuk perizinan ditarik ke pemerintah pusat namun kerangka yang menuju ke instrumen-instrumen tersebut masih berada di KKP. Tantangannya kemudian, bagaimana sistem perizinan tersebut terhubung secara otomatis dengan data-data yang ada, sehingga tidak menghambat dari segi proses.“Dengan simplifikasi perizinan, semula ada SIUP, SIPI, SIKPI kemudian menjadi untuk satu instrumen saja, kita perlu memastikan kepatuhan terhadap perundang-undangan ini semakin intensif.” | [0.00033922979491762817, 0.9992603659629822, 0.0004004047659691423] |
2020-062-07.json | Menimbang Dampak RUU Omnibus Law Cipta Kerja di Sektor Kelautan dan Perikanan | Menimbang Dampak RUU Omnibus Law Cipta Kerja di Sektor Kelautan dan Perikanan | Masalah kepatuhan ini sendiri dinilai Zulficar memang menjadi salah satu tantangan yang dihadapi sektor perikanan tangkap. Sehingga pemerintah kemudian berupaya bagaimana tingkat kepatuhan para pelaku usaha ini bisa ditingkatkan melalui sejumlah instrumen.Sejumlah instrumen tersebut misalnya melalui logbook perikanan, yang akan mengindikasikan berapa total tangkapan ikan yang sudah dilakukan, jenis alat tangkap yang digunakan, hasil tangkapan ikannya apa sesuai izin atau tidak.“Logbook ini menjadi salah satu indikator kita untuk memantau seefektif apa tata kelola tersebut dilakukan. Logbook ini sudah berjalan meskipun belum sempurna, masih ada beberapa hal yang masih perlu dikembangkan, namun ini menjadi salah satu instrumen mendorong kepatuhan usaha tersebut.”Instrumen lainnya adalah penerbitan surat persetujuan berlayar yang wajib dimiliki pelaku usaha perikanan ingin melaut. Izin ini tidak akan dikeluarkan hingga sejumlah aturan yang ada dipenuhi.“Ini bisa kita dorong masuk dalam kerangka nelayan untuk memperkuat instrumen di tingkat menteri kemudian masuk juga di sini. Kemudian laporan kegiatan penangkapan akan didukung nanti dengan beberapa monitoring system dan berbagai instrumen lainnya,” tambahnya. [SEP] | [0.00033922979491762817, 0.9992603659629822, 0.0004004047659691423] |
2021-073-12.json | Mengenal Pisang Raksasa Endemik Papua, Ini Foto-fotonya | Mengenal Pisang Raksasa Endemik Papua, Ini Foto-fotonya | [CLS] Tinggi tumbuhan ini bisa mencapai 10-15 meter. Bahkan di hutan dan kebun warga di Papua, pisang ini bisa setinggi 25 meter. Pisang raksasa dari Papua, begitu biasa orang-orang menyebutnya.Data Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BP2LHK) Manokwari, menyebutkan, pisang raksasa yang ditemukan di Papua ini tumbuhan endemik yang memiliki nama latin Musa ingens atau Musa ingens N.W.Simmonds.Pisang raksasa ini, pertama kali dikoleksi sebagai spesimen oleh Womersley, J.S dan Simmonds N.W. pada 22 Desember 1954 di New Guinea. Ia disimpan sebagai spirit colection pada Herbarium Kew Inggris. Batang pisang ini biasa berdiameter 70 cm dengan tinggi 10–15 m. Meskipun begitu, penuturan masyarakat diameter pohon bisa 1-1,5 meter dengan tinggi sekitar 25 meter bahkan lebih.Daun berbentuk macam pisang umumnya dengan ukuran lebih besar, lebar sekitar satu meter dan panjang sampai enam meter. Ukuran buah diameter bisa 4-6 cm dan panjang sekitar 10–15 cm. Ukuran tandan seperti pisang umumnya dengan diameter sekitar 35-50 cm, panjang 70-80 cm.Hadi Warsito dari BP2LHK Manokwari memberikan informasi soal pisang ini. Dia bilang, warna kulit buah hijau saat muda dan kekuningan ketika masak.Buah pisang ini memiliki biji cukup banyak dengan ukuran lebih besar atau sama dengan pisang umumnya. Jenis pisang ini tumbuh di pegunungan ketinggian 1.000-1.700 mdpl. Sebaran jenis ini hanya ada di Pulau Papua, meliputi Manokwari (Cagar Alam Pegunungan Arfak), Kaimana, Teluk Wondama dan Fak-Fak (Cagar Alam Fak-Fak Tengah). Juga di Kabupaten Yapen (Cagar Alam Yapen Tengah) dan di Kabupaten Tambrauw (Banfot dan Esyom Muara Kali Ehrin)Biasa, pisang raksasa ini tumbuh di hutan sekunder atau hutan bekas kebun dan kanan kiri jalan dengan tanah bersubstrat atau solum tanah dalam. | [0.000254815851803869, 0.01976369507610798, 0.979981541633606] |
2021-073-12.json | Mengenal Pisang Raksasa Endemik Papua, Ini Foto-fotonya | Mengenal Pisang Raksasa Endemik Papua, Ini Foto-fotonya | Jenis pisang ini tumbuh bergerombol atau terpisah dan biasa berasosiasi dengan jenis Lithocarpus rufovillosus, Musa arfakiana, Musa balbisina, Dodonaea viscos, Piper umbellatum dan Alphitonia macrocarpa.Ayub Yekwam, Kepala Kampung Banfot, Kabupaten Tambrauw, Papua Barat, mengatakan, , buah pisang ini tidak dikonsumsi masyarakat setempat ataupun mereka konsumsi terbatas. Alasannya, biji banyak hingga kurang disukai. Warga hanya gunakan daun pisang untuk atap rumah darurat di hutan, alas duduk dan alas makanan. Sedangkan pelepah, katanya, untuk menyimpan hasil buruan atau hasil kebun. Bahkan, kata Ayup, buah pisang raksasa atau yang mereka sebut dalam bahasa lokal dengan ndowin atau apit sepoh ini tidak mereka konsumsi karena dianggap pamali. Mereka hanya pakai untuk kegunaan lain seperti obat-obatan. Ayup punya pisang ini di kebunnya.“Ndowin atau apit sepoh ini tidak bisa kami makan karena dianggap pamali. Kami biasa pake untuk obat atau buat dinding rumah begitu saja”Yewen, warga Kampung Sikor mengatakan, apit seboh bisa dimakan namun banyak sekali biji. Menurut kepercayaan warga, untuk mengurangi biji, saat menebang tak boleh pakai parang melainkan menikam batang tepat di bagian akar hingga roboh, barulah mulai mengambil buahnya.“Pisang ini ada di kami punya tempat, Esyom, Muara Kali Ehrin.” Hadi Warsito, Richard Gatot Nugroho dan Pudja Mardi Utomo dari BP2LHK Manokwari mengatakan, pisang raksasa ini termasuk langka, belum ada budidaya karena pemanfaatan belum diketahui pasti.Menurut mereka, pisang raksasa ini tumbuh begitu saja tanpa budidaya. Keberadaan tumbuhan ini terancam kala pembangunan marak mengubah hutan jadi peruntukan lain.“Mungkin akan habis karena marak pembangunan di Papua saat ini,” kata Hadi. ****** Keterangan foto utama: Pisang raksasa endemik Papua. Foto: Safwan Ashari Raharusun [SEP] | [0.01809711940586567, 0.9629115462303162, 0.01899130828678608] |
2013-022-14.json | Pertobatan Pembalak Liar Hutan Desa Segamai (Bagian II): Bertahan dari Bisik Menggiurkan Kelapa Sawit | Pertobatan Pembalak Liar Hutan Desa Segamai (Bagian II): Bertahan dari Bisik Menggiurkan Kelapa Sawit | [CLS] Berpenduduk 277 kepala keluarga, penduduk Segamai menggantungkan hidup dengan berkebun seperti pohon kelapa dan jagung. Akses yang jauh dari ibukota kabupaten membuat biaya hidup cukup tinggi. Karena satu-satunya transportasi menuju desa hanyalah melalui sungai.Tidak ada fasilitas listrik dari pemerintah. Jalan-jalan di perkampungan masih sangat minim. Pemerintah membangun sarana jalan dengan semenisasi sepanjang kurang dari 500 meter dan lebarnya tidak cukup luas untuk dua motor yang berpapasan.“Di sini solar 8.000 rupiah per liter. Kalau bensin 10 ribu per liter. Sebulan bisa 500 ribu kami habiskan untuk minyak genset. Sementara hasil kebun tak seberapa. Harga jual kebun murah,” ujar Manaf, pemuda Segamai.Mata pencaharian warga Segamai adalah petani jagung, kelapa dan pedagang barang harian. Murahnya harga jual produk kebun lebih disebabkan keterisolasian desa dalam akses transportasi yang membuat pemborong menekan harga jual petani.Kini sejumlah warga mulai meninggalkan komoditi kelapa dan jagung dan beralih menanam sawit. Peralihan komiditi tersebut setelah setelah mendengar kisah petani sawit di desa lainnya yang dinilai lebih sukses. Sawit memang sebuah komoditi yang menguntungkan secara ekonomi namun sangat bergantung pada ketersediaan lahan dan air.Sejak lima tahun lalu kini sudah ada puluhan warga yang beralih menanam sawit. Termasuk Manaf. Kurangnya lahan tak membuatnya kehilangan akal. Bibit sawit disisipnya di sela-sela pohon kelapa.“Sekarang ada dua hektar yang sudah berumur tiga tahun. Sudah menghasilkan. Ada dua hektar lainnya yang masih disiapkan untuk ditanam,” katanya.Namun demikian harga tandan buah sawit segar petani di sini jauh lebih rendah dibandingkan di ibukota kecamatan. Satu kilogram buah sawit dihargai 400 rupiah. Sangat rendah dibandingkan harga normal saat ini yang mencapai 1.000 rupiah per kilogram. | [4.426556643011281e-06, 7.228185495478101e-06, 0.9999883770942688] |
2013-022-14.json | Pertobatan Pembalak Liar Hutan Desa Segamai (Bagian II): Bertahan dari Bisik Menggiurkan Kelapa Sawit | Pertobatan Pembalak Liar Hutan Desa Segamai (Bagian II): Bertahan dari Bisik Menggiurkan Kelapa Sawit | Berakhirnya masa membalak liar dan tuntutan ekonomi yang tinggi dikhawatirkan mendorong warga Segamai mengkonversi kebun kelapa dan jagungnya menjadi sawit atau bahkan memungkinkan ekspansi ke wilayah-wilayah yang berhutan.Selain mendorong perolehan akses legal atas pengelolaan hutan oleh masyarakat, penyelamatannya dari ekspansi kelapa sawit ini juga yang menjadi alasan bagi Yayasan Mitra Insani memperkenalkan konsep hutan desa kepada masyarakat Segamai pada tahun 2007.“Target hutan desa sebenarnya memastikan ruang kelola legal terhadap hutan. Secara umum dengan hadirnya hutan desa, masyarakat memahami konsepnya sesuai dengan konteks kehutanan dan pemanfaatannya. Dan secara tidak langsung masyarakat akan berpikir dua kali jika mereka melakukan ekspansi kelapa sawit di kawasan berhutan,” kata Herbert dari Mitra Insani.Hal ini ditunjukkan oleh masyarakat Desa Serapung yang juga mengajukan proposal hutan desa. Setelah SK hutan desa ditandatangani per 8 Maret 2013 lalu, mereka berkomitmen untuk tidak lagi menebang hutan. “Kalau sawit itu memang lebih cepat menguntungkan. Tiga tahun saja sudah bisa menghasilkan. Tapi kami tidak akan menanam sawit di hutan desa,” kata Manaf.Komoditi sawit memang sangat menggiurkan bukan saja bagi pengusaha besar, tapi juga masyarakat kecil seperti Manaf. CIFOR, lembaga riset kehutanan menyatakan secara global terjadi peningkatan permintaan minyak sawit makan di Cina dan India yang menempatkan posisi negara agraris ini menjadi produsen utama minyak sawit mentah dunia. | [0.9994334578514099, 0.0002822732785716653, 0.0002842268440872431] |
2013-022-14.json | Pertobatan Pembalak Liar Hutan Desa Segamai (Bagian II): Bertahan dari Bisik Menggiurkan Kelapa Sawit | Pertobatan Pembalak Liar Hutan Desa Segamai (Bagian II): Bertahan dari Bisik Menggiurkan Kelapa Sawit | Pada tahun 2011, luas perkebunan sawit Indonesia saja sudah mencapai 7,8 juta hektar termasuk 6,1 juta hektar perkebunan produktif yang tengah dipanen. Pada 2010 perkebunan ini menghasilkan 22 juta ton CPO dan meningkat hingga 23,5 ton pada tahun 2011. Dan pemerintah telah menargetkan 40 juta ton produksi CPO per tahunnya di tahun 2020 dengan memperluas portfolio perkebunan dengan tambahan 4 juta hektar. Konsekwensinya adalah ekspansi ke kawasan yang berhutan. [SEP] | [0.00033922979491762817, 0.9992603659629822, 0.0004004047659691423] |
2020-018-14.json | Ketika Kaum Perempuan Tergerak Menjaga Sungai Musi | Ketika Kaum Perempuan Tergerak Menjaga Sungai Musi | [CLS] Pada berbagai kelompok masyarakat di sepanjang Sungai Musi, perempuan hampir sepanjang hari berinteraksi dengan sungai. Mulai dari mandi, mencuci, memasak, serta aktivitas lain seperti menangkul ikan. Jika sungai rusak, seperti tercemar, maka perempuan juga ikut dirugikan.“Misalnya Sungai Ogan ini, airnya mulai kotor oleh berbagai limbah. Sebagian warga tidak berani lagi mandi karena kulitnya gatal-gatal. Mereka terpaksa berlangganan air PDAM, sehingga biaya pengeluaran bertambah,” kata Maryama, Ketua RT.25, Kecamatan 15 Ulu, Palembang, Sumatera Selatan, Selasa [13/10/2020].“Saat ini pun kami mulai sulit menangkul, karena ikan seperti jenis seluang susah payah didapatkan,” lanjutnya.Jadi, ketika koreografer Sonia Anisah Utami mengajak kami dan warga lain di Kampung 15 Ulu untuk terlibat penggarapan tari Rahim Sungai Musi, kami sangat senang. Di sela latihan tari, kami berdiskusi pentingnya melindungi sungai dari pencemaran limbah, terutama sampah rumah tangga. Dari diskusi ini kami tergerak membentuk kelompok perempuan peduli Sungai Musi.“Kami bukan hanya peduli lingkungan. Kami juga peduli tradisi yang selama ini menjaga kebersamaan kami di sepanjang Sungai Musi, khususnya masyarakat di sepanjang Sungai Ogan,” kata Maryama, yang terlibat dalam tari tersebut.Baca: Merajut dan Melestarikan Kebhinekaan Sungai Musi Agenda kerja yang akan dilakukan adalah, setiap pekan melakukan pembersihan tepian sungai. “Banyak sampah plastik, sisa tanaman, dan lainnya di sungai. Sampah-sampah tersebut memang sebagian dibuang oleh warga. Sebab sampai saat ini kami tidak memiliki tempat pembuangan sampah,” lanjutnya.Rencana pembuatan bank sampah juga ada. “Kami sudah memiliki lokasinya sekaligus nantinya akan dipisahkan sampah organik dan nonorganik yang bisa dimanfaatkan.”Baca: Perahu Bidar dan Tradisi Masyarakat di Sepanjang Sungai Musi | [0.01809711940586567, 0.9629115462303162, 0.01899130828678608] |
Subsets and Splits
No saved queries yet
Save your SQL queries to embed, download, and access them later. Queries will appear here once saved.